بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ


Minggu, 30 Juni 2013

Naskah Drama "Sitty Noerbaja"


SITTY NOERBAJA
(EPISODE LEPAS DARI BUMI)
OLEH

ILHAM YUSARDI

PEMAIN

Seorang perempuan muda, berperan  sebagai SITTY NOERBAJA
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai SAMSUL BAHRI
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai BAKHTIAR
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai ARIFIN
Seorang laki-laki paruh baya, berperan sebagai AYAH
Seorang laki-laki tua, berperan sebagai DATUK MARINGGIH
Seorang laki-laki, berperan sebagai PENDEKAR LIMA
Seorang laki-laki, berperan sebagai PEDAGANG
Seorang laki-laki, berperan sebagai PEDAGANG PALSU ( SURUHAN DATUK )
Beberapa orang SISWA.

I.

PENTAS MENGGAMBARKAN SESUDUT JALAN ATAU HALTE TEMPAT ANAK-ANAK SEKOLAH MENUNGGU JEMPUTAN ATAU ANGKUTAN UMUM. DI SITU MANGKAL SEORANG PEDAGANG GEROBAK YANG MENJUAL MAKANAN DAN MINUMAN RINGAN. DI SEBELAH KIRI TERDAPAT SEBUAH RAMBU-RAMBU YANG MENUNJUKAN TEMPAT PERHENTIAN BUS. 

SITTY,  SAMSULBAHRI, BAKHTIAR DAN ARIFIN MASUK. MEREKA BERCENGKRAMA SEPERTI ADAYANG DIPERDEBATKAN.

BAKHTIAR :
Yang namanya hidup di dunia tentu harus dengan akal, pandai-pandai. Kalau hidup di akhirat baru mesti dengan iman.

SITTY :
Tapi, melihat jimat saat ujian tadi kamu bilang pandai, Bakhtiar ? Bukankah itu cara yang licik.

ARIFIN :
Kalau saya berpendapat lain. Yang dilakukan Bakhtiar diwaktu ujian tadi namanya ‘licik pandai’, bukan cerdik pandai.

BAKHTIAR :
Aah, hei. Untuk hasil maksimal dibutuhkan usaha yang maksimal. Betulkan Samsul ?

SAMSUL :
Kata-kata itu benar. Kamunya yang tidak benar. Usaha maksimal bukannya menghalalkan segala cara. Ingat, alam terkembang jadikan guru. Bisa-bisa berubah pepatah itu, jimat terkembang otak membeku.

SEMUA TERTAWA MENDENGARNYA

PEDAGANG :
Oi ! onde-onde, onde-onde mande. Tertawa sambil makan onde-onde pasti lebih asyik.
( SITTY MEMERIKSA SAKUNYA )

SITTY :
Ujian tadi baru tahap percobaan. Apakah kamu bisa melihat jimat saat ujian akhir yang sebenarnya, Bakhtiar ?

ARIFIN :
Kalau saya berpendapat lain. Resiko untuk melakukan kecurangan di ujian akhir sangat besar. Melihat kiri-kanan saja mungkin dicurigai. Bertanya tetangga ?, sesekali jangan. Nah, apalagi lihat jimat, kertas kecil apapun jenisnya pasti akan gagal.

SAMSUL :
Barangkali Bakhtiar siap dengan resiko, didiskualifikasi.

ARIFIN :
Nah..., dari pada kepala pusing. Menurut pendapat saya. Lebih baik begini. Pertanyaan yang tidak terjawab oleh kita, gunakan pilihan bantuan. Pertama, ask the audience, kode tetangga-tetangga sebelah. Kalau dicurigai, urungkan niat. Kedua, phone a friends, siapkan kertas kecil untuk sms-sms-an,” bantu saya nomor sekian”. Lemparkan pada kawan yang mungkin tahu jawabannya. Tidak bisa juga ! Baru gunakan fifty-fifty.

BAKHTIAR :
Fifty-fifty bagaimana ?

ARIFIN :
Tentukan dua pilihan jawaban yang menurut kamu paling berkemungkinan benar. Dari dua jawaban tersebut, pilih satu saja dengan cara menimbang ( MENIRUKAN DENGAN TANGAN ). “Ma rancak iko pado iko, rancak iko”
Nah, dapatlah satu jawabannya. Untung-untung betul. Gampangkan.... ?

SAMSUL :
Alaahh...., sama juga bohong Arifin.

SITTY :
Tidak ada gunanya. Seperti kata petuah :
            Jalar-menjalar akar benalu
            Kuat melingkar di batang mangga
            Kita belajar menuntut ilmu
            Tabiat buruk tak akan berharga

ARIFIN :
Tapi bukankah fifty-fifty itu sah saja. Lain halnya dengan cara Bakhtiar yang menurut pendapat saya....

BAKHTIAR :
Sudah, sudah. Waktu seminggu itu masih panjang. Cukup untuk bersantai menenangkan pikiran. Pergi piknik, tenangkan jiwa.

SAMSUL :
Seminggu kamu bilang masih panjang ? Mana jari tanganmu ? Hitung mundur mulai detik ini. Saatnya siaga satu, kawan.

BAKHTIAR :
Jangan tegang, rileks saja. Kita tentu punya cara masing-masing sebelum bertempur. Kalau saya, butuh refreshing dulu sebelum menuju gelanggang. Kalau mau belajar kejar tayang menghafal buku-buku, silahkan coba. Bisa-bisa meledak itu kepala.

ARIFIN :
Dasar pemalas !

BAKHTIAR :
Terserah saja, sekarang lebih baik pulang. Dengar,
            Batang purut di tepi pagar
            Ditanam putri anak bangsawan
            Kerontang perut karena lapar
            Segera pulang mencari makan.
Ayo, Arifin. Kamu pulang bersama saya atau tidak ? Biarlah mereka berdua menggagas masa depan. Apakah kamu mau jadi pamong terus, jadi obat nyamuk bakarnya ? ( ARIFIN MENGIKUTI BAKHTIAR ) Samsul, Sitty, kami duluan. O, ya. Bayar onde-onde kami ini. Buat tutup mulut kami. Daaah.., selamat berindehoi !

BAKHTIAR DAN ARIFIN KELUAR SETELAH MENGAMBIL BEBERAPA ONDE-ONDE

SAMSUL :
Cerdik juga dia !
Kamu lapar, Sitty ?

SITTY :
(MENGGELENG)

SAMSUL :
Benar tidak lapar ?

SITTY :
( MENGGELENG )

SAMSUL :
Bagaimana kalau kita beli onde-onde. Sekedar pengganjal perut.

SITTY :
Mau, mau ! Boleh juga.

SAMSUL MENUJU PEDAGANG

SAMSUL :
Onde-ondenya, pak.

PEDAGANG :
Nah, begitu. Perhatikan juga nasib orang kecil seperti saya. Masa seharian saya berjualan di sini tidak ada yang beli ? Makanya dari tadi saya tawarkan onde-onde ini. Saya tahu kalau putrimu itu sangat suka onde-onde. Dia kan langganan saya.

SAMSUL :
Berapa, pak ?

PEDAGANG :
Belum seberapa, sepuluh onde-onde baru lima ribu saja. Kali ini saya kasih bonus dua buah. Buat nona Sitty.

SAMSUL :
 O. Ya. Terima kasih. Bapak baik sekali. Eh, benar tidak, pak ? Kata orang, hari esok harus lebih baik dari hari ini.

PEDAGANG :
Ya, harus !

SAMSUL :
Kalau begitu besok bapak harus lebih baik. Besok, kalau saya beli onde-onde bonusnya harus lebih dari dua. Hehehe ......

PEDAGANG :
Pintar juga otakmu.

SAMSUL KEMBALI KE TEMPAT SITTY

SAMSUL :
Sitty, ini onde-ondenya. Makanlah. Bapak itu memberi bonus buat kamu.

SITTY :
O, ya. Kalau saya tadi yang beli pasti bonusnya lebih dari dua.

SITTY DAN SAMSUL DUDUK MENIKMATI ONDE-ONDE

SAMSUL :
Sitty, selepas lulus sekolah nanti, ayahku menyuruhku untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Aku sendiri setuju dengan itu. Kalau kamu bagaimana ?

SITTY :
Baguslah. Siapa yang tidak bangga bisa lanjut ke jenjang yang lebih tinggi . Ayahmu tentu telah menyiapkan semua demi kamu. Aku sendiri belum tentu, Sam. Belakangan ini ayahku sakit-sakitan. Aku tidak mungkin memaksakan keinginanku dalam kondisi seperti ini. O... rencananya kamu mau melanjutkan kemana, Sam ?

SAMSUL :
Ayahku menyarankan untuk kuliah di luar negeri.

SITTY :
Luar negeri ?!

SAMSUL :
Iya, Sitty. Tidak di sini.

SITTY :
Kenapa mesti ke luar negeri, Sam ?

SAMSUL :
Kata ayahku, sangat baik untukku nantinya. Dengan kuliah di luar negeri kita bisa mendapatkan ilmu dengan maksimal.

SITTY :
Di sini juga bisa, bukan ? Banyak perguruan tinggi yang tidak kalah kualitasnya. Dan lagi, kuliah di luar itu butuh biaya besar, Sam. Apakah ayahmu sudah memikirkannya matang-matang ?

SAMSUL :
Ah, entahlah. Selain itu sebenarnya aku belum siap untuk merantau terlalu jauh. Jauh dari kampung halaman, jauh dari keluarga, dan tentu akan menjauhkan aku dari kamu Sitty.

SITTY :
Jauh tidak lagi persoalan, Sam. Selagi masih di bumi ini. Apalagi zaman sekarang ini. Jarak dan waktu bisa direkayasa dengan teknologi.

SAMSUL :
Aku tidak ingin jauh dari kamu Sitty.
            Anak baginda berburu rusa
            Rusa mati tertembak panah
            Jika kasih jauh dimata
            Rasa mati badan sebelah.

SITTY :
            Burung puyuh masuk ke rimba
            Di dahan jati singgah merapat
            Meskipun jauh dipelupuk mata
            Di dalam hati tetapkan dekat.

SAMSUL :
            Ombak berdentum di hujan lebat
            Sampan melaju ke pulau seberang
            Hendak kemana carikan obat
            Badan bertemu makanya senang.

            Kalau lama tidak ke ladang
            Tinggilah rumput dari padi
            Kalau lama tak bisa kupandang
            Rasa rindu menjadi-jadi.
SITTY :
            Risau kicaunya si anak balam
            Ditinggal induknya di pohon jambu
            Walau tak bisa berjawat tangan
            Di dalam mimpi kita bertemu.

            Utara selatan jadi penjuru
            Timur dan barat jadi pedoman
            Jika tuan dilanda rindu
            Dikerat rambut jadikan kenangan.

SAMSUL :
            Tetak lontar alaskan padi
            Peti dibawa dari Palembang
            Bertemu sebentar bagaikan mimpi
            Itu membawa hatiku bimbang

Bendi dipapah jalan berliku
            Mengangkut sirih ke tengah pekan
            Kaki dilangkah terasa kaku
            Takut kasih berpindah tangan.

SITTY :
            Anak Kediri berdagang kain
Kain disimpan dalam peti
            Niat diri tidak pada yang lain
            Tuan terikat di dalam hati.

            Anak dara bersunting kembang
            Rupanya elok serta jelita
            Banyak dara di negeri orang
            Tidakkah tuan bersimpang mata.

SAMSUL :
            Manis-manis bukannya tebu
            Manisnya manis si gula jawa
            Manis tidak sekedar dari rupamu
            Manis kupandang budi bahasa.

            Surabaya kota pahlawan
            Dikenang seluruh anak negeri
            Sitty Noerbaja yang menawan
            Tak akan kudapati di luar negeri.


SITTY :
            Merah warnanya si bunga mawar
            Putih suci bunga melati
            Janji bukan untuk ditawar
            Kasih hanya dilerai mati

SAMSUL :
Tanam melati di depan rumah
            Ubur-ubur berdamping dua
            Jikalau mati kita bersama
            Satu kubur kita berdua.

SITTY :
            Ubur-ubur berdamping dua
            Tanam melati bersusun tangkai
            Kalau mati kita berdua
            Jikalau boleh bersusun bangkai.

SAMSUL :
            Tanam melatai bersusun tangkai
            Tanam padi satu persatu
            Jikalau boleh bersusun tangkai
            Daging melebur jadi satu.

TANPA DISADARI, PEDAGANG MEMPERHATIKAN PERCINTAAN SAMSUL DENGAN SITTY.

PEDAGANG :
“Allahuakbar Allahuakbar..............!!” ( KEARAH SITTY DAN SAMSUL )

SAMSUL :
Hah ! O . Ayo kita pulang, Sitty. Sudah terlalu senja. Nanti orang di rumah marah-marah. Merantaunya masih lama. Lulus saja juga belum tentu.

SAMSUL DAN SITTY KELUAR

PEDAGANG :
            Ikat berikat tali kuda
            Pasang pelana kuda yang putih
            Hati terikat samanya muda
            Lupa waktu sebab berkasih

            Minta daun diberi daun
            Dalam daun buah bidara
            Minta pantun diberi pantun
            Dalam pantun ada cerita

PEDAGANG ITU PUN KEMUDIAN MENUTUP DAGANGANNYA. KELUAR SERAYA MEMBAWA RAMBU-RAMBU YANG TERNYATA BISA DICABUT DENGAN MUDAH.

                                                           
* * *



II.

DI RUANGAN SEBUAH RUMAH SEORANG LAKI- LAKI  SEPARUH BAYA DUDUK. LAKI-LAKI ITU TERBATUK-BATUK SERAYA MENGUSAP-USAP DADANYA MENAHAN SAKIT. ANAK PEREMPUANNYA DUDUK DI SEBELAH LAKI-LAKI ITU, SESEKALI MEMIJIT-MIJIT BAHUNYA.

SITTY :
Istirahatlah lagi ayah, sudah terlalu larut.

AYAH :
Tidak mudah tidur bagi ayah sekarang ini, Sitty.
Dipejam mata tak terpejam
Direbah tubuh tak jua senang perasaan.

SITTY :
Apalagi yang ayah pikirkan ? Bukankah ayah pernah bilang pada Sitty,
Tidaklah beban jadi rasian
Habis daging dihisapnya.

AYAH :
Sitty, anakku. Kamu ini seperti orang dulu bilang,
Kecil tak lagi untuk disuruh-suruh.
Besar belumlah dapat ditumpangi.

SITTY :
Ah, ayah. Kecil Sitty anak ayah, besar juga tetap anak ayah. Kalau boleh Sitty tahu, apa yang ayah pikirkan ?

AYAH :
Dipintal benang dengan gulungan
Biar berpisah pangkal dengan ujungnya
Tak kusut pula dalam genggaman.
Tapi, kali ini kamu terpegang ujung benang, Sitty.
Ayah memintal dari pangkalnya.

SITTY :
Kalaulah ujung di tangan Sitty, tentulah Sitty takkan berlepas tangan.
Ceritakanlah ayah. Dengan senang Sitty dengarkan.

AYAH :
( MENARIK NAFAS )
Berniaga ke tanah Jawa dagang emas dengan budi bahasa.
Tapi, bagaimanapun, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Nasib tertoreh di telapak tangan.
Niat hendak menyekolahkanmu tinggi-tinggi, biar bertambah isi kepala.
Cita-cita membumbung langit, Tuhan dari atas jua yang menentukan.
Jerih peluh usaha niaga kita kali ini telah habis surut, Sitty. Ayah tak dapat lagi berbuat apa-apa. Sekarang, kamu juga tahu, harta ayah hanya tinggal badan sepembawaan ini. Hutang-hutang tumbuh melilit pinggang. Mencekik kerongkongan.

SITTY :
Sitty mengerti, ayah.

AYAH :
Hutang emas dibayar emas. Hutang budi, tentulah dibawa mati.

SITTY :
Benar ayah.

AYAH :
Kemarin Datuk Maringgih datang ke sini. Tak lain untuk menagih hutang pinjaman dagang yang sudah jatuh tempo. Ayah meminta Datuk menambah jangka waktu yang diberikan. Tapi, dia menolak. Karena telah melewati batas waktu yang seharusnya. Sehingga bunganya sudah berlipat ganda. Rumah yang satu-satunya inipun hendak disitanya. Dan itupun belum juga akan menutupi hutang kita Sitty.

SITTY :
Iya, ayah. Sitty paham, ayah.

AYAH :
Panjang cerita segelas kopi, direntang masa setinggi bulan. Bersilat lidah di perbincangan, berkecamuk darah dalam dada.
Ah. Hutang kita seperti memotong rumput di tengah padang. Potong dipotong tumbuh jua. Bunganya menjulang menyentuh lutut. Tiap melangkah terjatuh pula menyentuh tanah.

SITTY :
Sitty mengerti, ayah.
Jual gabah di tengah pekan, gabah dibawa dengan bendi.
Kalaulah susah sama kita pikirkan, nak lapang jua beban di hati.
Ayah, apa yang bisa Sitty perbuat untuk itu, Ayah.

AYAH :
( KEMBALI MENARIK NAFAS, KEMUDIAN MENGGELENGKAN KEPALA )
Daunmu terlalu hijau. Berputik sudah, berbunga belum. Harumnya belumlah melintas pagar.

SITTY :
Maksud ayah.... ?

AYAH :
Sitty, hutang emas dibayar emas ? Hutang budi dibayar budi ? Tapi, lain dengan Datuk Maringgih. Seluruh hutang kita padanya, tidak berguna pepatah demikian. Datuk ingin mempersuntingmu. Maka, lepaslah hutang yang selilit pinggang.

SITTY :
( TERKEJUT )
Dengan Sitty, ayah !? Datuk Maringgih !?

AYAH :
Itulah jalan yang ia pintaskan agar terlepas dari segala hutang.

SITTY :
Tidak, ... tidakkah ada jalan lain, ayah ?

AYAH :
Kalaulah umur ayah masih panjang, dan tenaga berisi di badan. Tentu ayah tidak akan memberi tahu kamu, Sitty.

SITTY :
Tapi, ... Sitty belum ...

AYAH :
Sitty, Ayah paham kalau kamu belum punya timbangan yang kuat, Sitty. Timbangan yang bagus tidak berat sebelah. Berlebih semata ditentang dengan pikiran. Selepas kamu lulus sekolah nanti, Datuk Maringgih hendak menjatuhkan hari.

SITTY :
( TERDIAM LAMA SEPERTI BERPIKIR )
Ayah, bolehkah Sitty mohon diri Ayah ?
Sudah berat kelopak mata. O, ayah istirahatlah dahulu.

SITTY KELUAR MENINGGALKAN AYAHNYA.
LAMPU MENYURUT.



* * *



III.

PENTAS KEMBALI MENGGAMBARKAN SESUDUT JALAN. PEDAGANG MENUNGGU ANAK-ANAK PULANG SEKOLAH.

DATUK MARINGGIH MASUK BERSAMA PENDEKAR LIMA—ASISTEN, JUBIR SEKALIGUS PENGAWALNYA.

DATUK :
Sudah keluar anak sekolah itu ?

PEDAGANG :
O, belum Tuan. Mungkin sebentar lagi. Coba lihat arlojinya ( MENARIK TANGAN DATUK, MELIHAT ARLOJI ). Baru pukul lima lewat sedikit. Lihat, baru sedikit lewatnya. Sekolah bubar pukul setengah enam. Ya, setengahnya saja. Sebentar lagi. Sabar, sabar. Silahkan duduk dulu. Santai dulu. Dan saya punya onde-onde, enak rasanya. Silahkan dicoba. Kalau tidak percaya lihat saja nanti. Seorang gadis cantik akan memborong onde-onde ini, Sitty  Noerbaja gadis....

DATUK :
Sitty Noerbaja ?!

PEDAGANG :
Tepat sekali. Gadis manis, semanis tebu, suka onde-onde. Dia bilang onde-onde lebih hebat dari makanan import manapun. Eh, apa Tuan menunggu Sitty Noerbaja ?

DATUK :
Ya. Saya menjemputnya.

PEDAGANG :
Berarti Tuan ini keluarganya Sitty, kakeknya barangkali ?

PENDEKAR LIMA :
Heh ! Jangan asal bicara ya !

PEDAGANG :
Bapaknya ?

PENDEKAR LIMA :
Datuk ini bukan bapaknya.

PEDAGANG :
Jadi, pamannya begitu ?

PENDEKAR LIMA :
Huhh ! Tidak kata saya !
PEDAGANG :
Kakek bukan, bapak tidak, paman juga salah. Tapi ke sini untuk menjemput Sitty. Nah, berarti Tuan ini sopir pribadinya nona Sitty.

PENDEKAR LIMA :
Hei ! Mau kakek, kek. Mau bapak, kek. Mau paman, kek. Apa urusanmu ! Urus saja onde-ondemu itu.

PEDAGANG :
O. Oke, oke. Maafkan saya. Tidak akan saya urus lagi. Ya, bukan urusan saya. Tapi ingat, sekedar informasi. Bagi saya, Sitty berarti onde-onde, seperti onde-onde. Lembut di luarnya, manis di dalamnya. Dia ramah sekali....

DATUK :
(
KEPADA PENDEKAR LIMA )
Coba kau lihat kesana. Lama sekali keluarnya. Apa yang mereka perbuat di sekolah itu. Zaman saya sekolah tidak terlalu penting. Lihat saya, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk bisa hidup sejahtera. Cuma pakai akal-akalan. Kecil bahagia, muda foya-foya, tua sejahtera, mati masuk......

PENDEKAR LIMA :
Itu dia, Datuk. Menuju kesini. Anak sekolah keluar seperti kambing lepas dari kandang. Tapi, Sitty bergandengan Datuk.

DATUK :
Bergandengan ! Dengan siapa !?

PENDEKAR LIMA :
Dengan laki-laki. Mesra sekali mereka.

DATUK :
Siapa laki-laki itu ? Hah ! Samsul Bahri. Anak Sutan Mahmud. Sudah melekat-lekat pula ia dengan Sitty.

SAMSUL , SITTY, BAHKTIAR DAN ARIFIN MASUK.

SAMSUL :
Tuan Datuk Maringgih rupanya. ( MENGULURKAN TANGAN HENDAK BERSALAMAN TAPI TIDAK DIBALAS OLEH DATUK )

PENDEKAR LIMA :
Oh, bersalaman dengan Datuk harus melalui saya. Saya asisten, jubir, sekaligus pengawal pribadi Datuk. Jadi segala apapun urusan dengan Datuk harus melalui saya.

DATUK :
Selamat sore Sitty. Sedari tadi saya menunggu. Niat di hati hendak menjemputmu. Mobil sudah saya persiapkan. Mari, kita berkeliling menikmati senja yang menarik ini. Bagaimana kalau kita ke tepi laut, mencari angin segar sambil makan rujak atau jagung bakar. Setelah itu kita ke plaza mencari oleh-oleh untuk ayahmu.

SITTY :
Ah, eh. O. Mmmh ... Datuk !?

DATUK :
Ayo Sitty, mari. ( MENARIK TANGAN SITTY )

SAMSUL :
Ada apa ini Datuk ?

PENDEKAR LIMA :
Bukan urusan kamu !

SAMSUL :
Ini jadi urusan saya.

PENDEKAR LIMA :
Oi, urus saja dirimu sendiri, kalau tidak mau berurusan panjang dengan saya !

SAMSUL :
Tapi jangan main ... !

SITTY :
Tenang Sam. Ini urusan saya. Pulanglah dulu bersama Bachtiar dan Arifin. Saya mau bicara sebentar dengan Tuan Datuk.

SAMSUL :
Tapi, Sitty. Kamu...

SITTY :
Sam, saya mohon pengertian kamu.

PENDEKAR LIMA :
Nah, kamu dengar tidak ? Sitty menyuruhmu pergi dari sini. Tunggu apalagi, menunggu kena usir, ya ?

BACHTIAR :
Enak saja main usir. Ini tempat umum tahu.

PENDEKAR LIMA :
Kamu juga mau turut campur urusan ini, ya ? Mau tahu prosedur berurusan dengan saya ?

ARIFIN :
Op, op, op. Menurut pendapat saya lebih baik kita mengalah. Mundur. Ayo. Sitty, kami duluan. Jaga diri baik-baik.

SAMSUL, BACHTIAR DAN ARIFIN PERGI DENGAN KESAL.

SITTY :
Datuk. Apa maksud Datuk menjemput saya ?

DATUK :
Saya bermaksud baik Sitty. Mulai hari ini saya, eh, aku, akan menjemputmu. Sebagai seorang calon induk berasku, alangkah menyenangkan kita bertemu setiap saat. Biar kita merasa dekat. Bukan begitu hendaknya ?

SITTY :
Siapa yang menyuruh Datuk melakukannya ?

DATUK :
O, tidak siapa-siapa. Ini aku lakukan tulus dan murni dari hati nuraniku sendiri.

PENDEKAR LIMA :
Ah, tidak usah pakai menolak segala. Turuti sajalah. Datuk akan membuat hari-harimu bahagia.

DATUK :
Saya tidak menyuruhmu bicara !

SITTY :
Datuk. Saya tidak pernah meminta untuk dijemput, Datuk.

DATUK :
Sitty, semua sudah saya perhitungkan dengan ayahmu, Sitty. Tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.

SITTY :
Tuan Datuk. Ini bukan hitungan matematik, Tuan. Sebagai seorang yang jauh lebih dewasa, tentu Tuan lebih paham dunia ini.

DATUK :
Ah, kau kan bukan lagi anak kecil yang tidak bisa menentukan langkahmu sendiri. Sudah tujuh belas tahun. Tentu kau mengerti Sitty.

SITTY :
Jalan saya masih panjang Datuk. Saya belum berpikir melangkah sejauh ini. Alangkah bagusnya Datuk mencari perempuan yang lebih dari saya. Lebih pantas, lebih pas menjalankan hidup dengan Datuk.


DATUK :
Apalagi yang kamu cari setamat sekolah ini, Sitty ? Lebih baik lakukan langkah besar. Apalagi, kamu perempuan. Bukankah perempuan itu hanya ; sumur, dapur, dan kasur.

SITTY :
Tuan. Hendaklah Tuan berpikir baik. Baik untuk Tuan, dan juga baik untuk saya.

PENDEKAR LIMA :
Ini sudah yang terbaik Datuk lakukan untuk kamu dan Ayahmu, Sitty. Apakah kamu senang melihat ayahmu sakit-sakitan memikirkan...

SITTY :
Tentang hutang Ayah saya pada Datuk, saya berharap Datuk sabar. Berilah saya kesempatan. Tunggu saya menyelesaikan sekolah saya dulu. Saya akan berusaha, bekerja mencari uang untuk membayarnya.

PENDEKAR LIMA :
Heh ! Mau kerja apa kamu Sitty ? Tidak gampang mencari pekerjaan di jaman sekarang ini. Kerja di kantor ? Di Bank ? Jangan mimpi Sitty. O, barangkali kamu bisa jadi babu, buruh kasar, atau kamu jadi pekerja ... pekerja seks komersil.

SITTY :
( MENAHAN AMARAH )
Saya tidak bicara demikian Tuan-tuan.

DATUK :
Pendekar Lima. Saya tidak suruh kamu bicara. Diam saja di sana.
Jadi, kamu keberatan dengan aku Sitty ?

SITTY :
Maafkan saya Tuan Datuk.

DATUK :
Saya tidak main-main Sitty.

PENDEKAR LIMA :
Tidak tahu diuntung pula kau rupanya. Ingat. Hutang ayahmu dengan Datuk sudah terlalu banyak. Mau dibayar dengan apa lagi ? Ayahmu sudah menjual seluruh perusahaan dagangnya. Untuk bunganya saja itu pun belum cukup. Ayahmu sudah mulai bicara sendiri memikirkannya. Lebih baik kau bayar lunas dengan ...

SITTY :
Hutang emas dibayar emas, Tuan.

PENDEKAR LIMA :
Jadi kau kemanakan perbuatan baik Datuk selama ini pada ayahmu ?

SITTY :
Saya akan selalu mengingatnya. Tidak akan saya lupakan, bahwa Datuk adalah seorang yang baik. Bahkan terlalu baik.

PENDEKAR LIMA :
Nah, tunggu apa lagi ?

SITTY :
Namun, keinginan Datuk terhadap saya, apakah baik buat saya ?

PENDEKAR LIMA :
Jelas sangat baik. Niat baik Datuk tidak akan ada yang menghalangi.

SITTY :
Belum tentu, Tuan. Kalau Tuhan berkeinginan lain, tidaklah boleh mendahului yang di atas.

DATUK :
Hhh. Jangan bermain-main, apalagi mempermainkan saya. Jadi kamu menolak saya ? Saya tidak pantas untuk kamu, begitu ? Lalu, siapa yang pantas ?

PENDEKAR LIMA :
Samsul Bahri tentu telah mempengaruhi otaknya.

SITTY :
Tidak baik menyangkut  – pautkan persoalan ini dengan orang lain, Tuan. Samsul tidak tahu apa-apa dengan masalah ini.

PENDEKAR LIMA :
Jangan bersilat lidah, Sitty. Sejak kapan kau berhubungan dengan dia ? Sudah sejauh mana ? Jangan-jangan kau telah melakukan......

SITTY :
Cukup Tuan. Persoalan ini hanya antara keluarga saya dengan tuan Datuk.

DATUK :
Baik, baik. Sitty ! Silahkan kamu berpikir baik-baik sekarang. Baik untuk kamu serta ayahmu. Terserah ! Saya tunggu keputusanmu.

SITTY :
Sekali lagi, saya mohon maaf  dan berharap Tuan mengerti. Maafkan atas kelancangan saya. Saya mohon diri dulu, Tuan. Saya pulang.

SITTY KELUAR



PENDEKAR LIMA :
Keras kepala juga  dia !

DATUK :
Keras hati, pendekar.

PENDEKAR LIMA :
Keras hatinya pada Samsul Bahri.

DATUK :
Mmmh. Hehehe ... Samsul Bahri !? Tampaknya dia akan menjadi batu sandungan bagi langkah saya. Tapi dia bukan masalah yang besar. Pendekar, ke sini !
( MEMBISIKAN SESUATU. PENDEKAR MENGANGGUK-ANGGUK )

PENDEKAR LIMA :
Ide yang usul. Tapi...

DATUK :
Tapi bagaimana ?

PENDEKAR LIMA :
Begini Datuk, apakah setelah ini dilakukan Sitty akan mau dengan Datuk ? Tentu dia akan tambah sulit didekati. Lebih baik langsung Sitty saja, Datuk. 

DATUK :
Kamu gila ya ! Tujuan saya itu jelas-jelas Sitty. Kenapa Sitty pula yang dijadikan sasaran. Goblok ! Sekarang gunakan otakmu, bagaimana caranya.

PENDEKAR LIMA :
O. Baik. Begini ( BEBICARA PELAN DENGAN DATUK, SESEKALI MENUNJUK KE ARAH PEDAGANG )

DATUK  :
Bagus, bagus. Sekarang gunakan bibirmu itu kesana.

PENDEKAR LIMA MENDEKATI PEDAGANG.

PEDAGANG :
Eh, Tuan. Kelihatan serius sekali pembicaraan tuan-tuan dengan Nona Sitty. Sehingga Ia tidak sempat menikmati onde-onde saya. Rejeki saya jadi hilang begitu saja.

PENDEKAR LIMA :
Ah, biasalah. Kami ini memiliki sebuah Production House yang sedang menggarap sebuah film baru. Pembicaraan tadi itu, kami menawarkan sebuah peran pada Sitty Noerbaja. Tapi dia masih ragu. Pikir-pikir dulu katanya ( MEMAKAN SEBUAH ONDE-ONDE ) Mmmh..onde-ondenya enak sekali.

PEDAGANG :
Tuan mengajak Sitty main film ? Dia menolaknya ?

PENDEKAR LIMA :
O, Belum. Sitty belum memutuskannya tadi.
( MEMATUT-MATUT GEROBAK PEDAGANG )
Selain dengan Sitty, sepertinya kita juga bisa berkerjasama.

PEDAGANG :
Bekerjasama ? Tuan membutuhkan saya untuk main film ?

PENDEKAR LIMA :
Ya. Kami membutuhkan gerobak Anda ini untuk setting sebuah adegan di film kami nantinya.

PEDAGANG :
Aah..., masa cuma gerobaknya saja. Sayanya tidak. Memang apa judul filmnya ?

PENDEKAR LIMA :
Mmmh. “Tidak Ada Apa-apa Dengan Cinta”.

PEDAGANG :
Lho ! Kok pakai kata ‘tidak’ ?

PENDEKAR LIMA :
Di situlah nilai jual film ini, lain dari yang lain. Film ini akan memperlihatkan bahwa tidak ada apa-apa dengan cinta. Persetan dengan yang namanya cinta. Nah, pengambilan gambar pertamanya akan dilakukan di sini. Sitty akan memainkan tokoh utamanya yang sedang menunggu kekasihnya sambil makan onde-onde.

PEDAGANG :
Makan onde-onde ? Wah, cocok sekali dengan hobinya.

PENDEKAR LIMA :
Karena itulah kami memberikan peran ini pada dia.

PEDAGANG :
Semestinya saya juga diajak, dikasih peran. Saya ini kan sudah biasa melakukan adegan yang Tuan inginkan. Sitty pasti senang dengan saya sebagai lawan mainnya.

PENDEKAR LIMA :
Sayang, wajah Anda itu tidak Kameragenik 

PEDAGANG :
Apa maksudnya ?


PENDEKAR LIMA :
Wajah Anda itu tidak menarik jika dishoot dengan kamera. Itu akan merusak citra film ini di mata penonton nantinya. Jadi saya cuma pakai gerobaknya saja. Bagaimana ? Mau tidak ? Kami hargai ( MEMBERI PENJELASAN DENGAN TANGAN SAMBIL BERBISIK ).

PEDAGANG :
Ah, cuma segitu ? Biasanya seorang produser itu sangat royal. Apalagi untuk sebuah adegan penting.

PENDEKAR LIMA :
Tenang, sesudah pengambilan gambar adegan ini akan saya tambah. Dua kali lipat, bagaimana ?

PEDAGANG :
Nah, begitu. Kerjasama disepakati. Tapi.....

PENDEKAR LIMA :
( HENDAK BERBALIK KE TEMPAT DATUK )  Apa lagi !?

PEDAGANG :
Tadi kata Tuan, Nona Sitty belum memastikan dirinya untuk.......

PENDEKAR LIMA :
O. Itu bukan urusan kamu. Nanti akan kami hubungi lagi dia. Cuma persoalan nilai kontrak. Dengan nilai yang lebih tinggi, pasti Sitty tidak akan sanggup menolaknya.
( MENUJU DATUK )

DATUK :
Bagaimana, Pendekar ?

PENDEKAR LIMA :
Beres, Datuk. Semua sudah saya persiapkan

DATUK :
Bagus. Tidak percuma kau kuangkat jadi jubir, bibirmu tak kalah cepatnya dengan otakmu. Setelah Samsul dibereskan, tidak ada lagi halangan bagi saya menuju Sitty. Oh, Sitty ( SERAYA MENERAWANG ).


* * *






IV.

SEORANG PEDAGANG PALSU SURUHAN PENDEKAR LIMA TELAH SIAP DI TEMPAT ITU. IA MONDAR-MANDIR MENUNGGU ANAK-ANAK SEKOLAH KELUAR.

SITTY MASUK, HERAN MELIHAT PEDAGANG ITU.

PEDAGANG PALSU :
O. Mmh, nona pasti  Sitty Noerbaja.

SITTY :
Betul. Tapi bapak ini siapa ? Biasanya kan pak Amat yang berjualan dengan gerobak ini.

PEDAGANG PALSU :
Saya ini... anu, maksud saya, saya ini saudara dari isterinya si Amat yang biasanya berjualan di sini. Berhubungan si Amatnya ada urusan ke situ...., maksud saya ke....kampung isterinya itu, saya diminta untuk menggantikannya. Daripada tidak untung....Eh, maksud saya daripada merugi, lebih baik saya yang menjual-jual dagangannya hari  ini. Katanya dia ada......

SITTY :
Ada apa, Pak ?

PEDAGANG PALSU :
Ah, entahlah. Tidak tahu saya. Pokoknya anu. Penting !

SITTY :
Maksud bapak urusan penting.

PEDAGANG PALSU :
Nah, betul. Seperti yang Nona maksudkan tadi.
Yang penting bagi saya itu, si anu, maksud saya, teman Nona yang bernama Samsul itu .

SITTY :
O, Samsul Bahri. Dia belum keluar. Sebentar lagi. Saya biasa menunggunya di sini.
Ada perlu apa bapak dengan Samsul ?

PEDAGANG PALSU :
Begini. Saya ini di...., maksud saya ada sesuatu yang akan saya......

SITTY :
Maksud bapak ada yang ingin bapak sampaikan pada Samsul ? Katakan saja pada saya, nanti saya sampaikan pada Samsul.

PEDAGANG PALSU :
Ooo...tidak bisa, maksud saya tidak usah. Biar saya saja. Ini juga penting Nona.

SITTY :
Memangnya siapa yang berpesan ?

PEDAGANG PALSU :
Si itu..., si anu, maksud saya.......

SITTY :
Pak Amat ?

PEDAGANG PALSU :
Iya, ya, seharusnya saya bilang begitu. Hehehe........

SEMENTARA PEDAGANG PALSU ITU MENUNGGU SAMSUL, SITTY MENGAMBIL BEBERAPA BUAH ONDE-ONDE DARI GEROBAKNYA.

SITTY :
Pak, Saya beli onde-ondenya. Ini uangnya.

PEDAGANG PALSU :
Ha! Onde-onde ? Nona Sitty membeli onde-onde ini untuk siapa ?

SITTY :
Ya buat saya.

PEDAGANG PALSU :
Tapi ini tidak untuk........

SITTY :
O, tidak untuk dijual, begitu ? Apa bapak tidak mau uang ?

PEDAGANG PALSU :
Uang ! Mau saya. Ini saya lakukan karena uang.

SITTY :
Nah, ini uangnya.

SITTY DUDUK MELEPAS LELAH . KEMUDIAN IA MEMAKAN SATU BUAH ONDE-ONDE.
 
PEDAGANG PALSU :
( KESAMPING ) Aduh ! Celaka saya. Seharusnya Samsul, seperti yang disuruhkan pada saya. Nona memakannya ? ( PADA SITTY )


SITTY :
Iya, kenapa ?

PEDAGANG PALSU :
Ditelan ?

SITTY :
( MENGANGGUK )

PEDAGANG PALSU :
Enak ?

SITTY :
Mmm, enak. Tapi gulanya terlalu manis dari yang biasa.
( MEMAKAN SEBUAH LAGI )

PEDAGANG PALSU :
Yang itu ?

SITTY :
Sama saja. Bapak ini kenapa
? Kalau bapak mau silahkan coba saja.                   ( MENYODORKAN ONDE-ONDE )

PEDAGANG PALSU :
O. Tidak, tidak ! Saya tidak suka onde-onde. Onde-onde itu manis. Saya tidak boleh makan yang manis-manis. Kalau saya makan, saya akan batuk-batuk. Saya akan jadi pusing. ( SITTY MEMEGANG KEPALANYA SEPERTI KESAKITAN ) Nah, anak saya akan marah. Ia akan tambah pusing melihat saya. Ia akan kasak-kusuk mencarikan saya obat. Pernah saya pusing sekali gara-gara makan dodol yang juga sama manisnya dengan onde-onde. Saya jadi terbatuk-batuk, nafas saya sesak sekali    ( SITTY MEMEGANG DADANYA KARENA SESAK NAFAS ) Hampir-hampir saya tidak kuat lagi. Untung anak saya segera membawa saya ke Puskesmas. Kata anak saya, puskesmas itu kependekan dari; pusing, kepala sakit dan masuk angin. Susternya menyuntik saya disini ( MENUNJUK BAGIAN PAHANYA ) Sakit. Tapi, setelah itu saya bisa sembuh. Kalau tidak, saya bisa mati.( SITTY SUDAH TERDIAM BEGITU SAJA.TERKAPAR ) Saya ini belum ingin mati. Saya ingin hidup seribu tahun lagi. Nona takut mati ? ( MENOLEH KEPADA SITTY ) Nona ? Nona ! Bangun nona. Nona, bangun. Wah, celaka. Aduh, seharusnya Samsul. Kalau tidak, saya tak dapat uang. Aduh, nona ini ( MENDEKATKAN TANGAN PADA HIDUNG SITTY ) Haa ! Tidak ada anginnya. Puskesmas, puskesmas ! Tolong ! Tolong ! Ah, kalau orang-orang datang hancur saya. Aduh, bagaimana ini !?.

SAMSUL, BAKHTIAR DAN ARIFIN MASUK

SAMSUL :
Sitty !?

BAKHTIAR :
Sitty kenapa !?

ARIFIN :
Ada apa dengan Sitty !?

SAMSUL :
Hah ! Tidak usah bertanya lagi. Cepat angkat. Bawa ke rumah sakit.

MEREKA KELUAR MEMBOPONG TUBUH SITTY. DARI ARAH LAIN DATUK MARINGGIH DAN PENDEKAR LIMA MASUK.

DATUK :
Bagaimana ?

PEDAGANG PALSU :
Wah. Aduh, celaka ! Sitty !

DATUK :
Kenapa Sitty ?

PEDAGANG PALSU :
Onde-onde, maksud saya Sitty makan onde-ondenya. Sudah saya larang, tapi ia terus saja. Mau apa lagi. Kalau saya katakan ada racunnya tidak mungkin. Sekarang Sitty diangkut ke...

PENDEKAR LIMA :
Diangkut ke rumah sakit ? Cepat bapak lihat kondisinya ! Segera balik, kami tunggu di sini !

PEDAGANG PALSU KELUAR MELIHAT SITTY

DATUK :
Haahhh ! Kenapa bisa jadi seperti ini ? Kacau ! Yang saya perintahkan bunuh Samsul Bahri. Kalau Sitty mati, percuma semuanya !

PENDEKAR LIMA :
Ini kesalahan teknis, Datuk.

DATUK :
Ini kesalahan kamu ! Menyuruh orang yang tidak bisa diandalkan ! Apa tidak ada yang lebih  punya akal !

PENDEKAR LIMA :
Kalau orang berakal mungkin tidak mau melakukannya, Datuk.


DATUK :
Sudah! Jangan mencari alasan lagi. Apa yang harus kita lakukan ? Kita dalam keadaan bahaya. Sebaiknya kita pergi dari sini.

PENDEKAR LIMA :
Kita tunggu laporan dari orang tadi dulu Datuk.

DATUK :
Untuk apa lagi ?

PENDEKAR LIMA :
Mengetahui keadaan Sitty, ia mati atau tidak.

DATUK :
Mati atau tidak, tidak perlu lagi saat ini. Kasus ini pasti diusut. Sekaranglah waktu yang tepat untuk menghindar. Ayo !

LANGKAH DATUK TERHENTI KARENA SAMSUL DATANG.

SAMSUL :
O. Ternyata langkah saya tak kurang dan tak jua lebih. Hendak ke mana tuan-tuan ? Tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, ya ! Begitu ? Sitty sekarang dalam keadan koma, Dokter telah mengetahui penyebabnya. Tidak ada alasan untuk tidak menuduh Datuk sebagai dalangnya.

DATUK :
Jangan asal tuduh ! Kamu ingin mencemarkan nama baik saya, ya !?

PENDEKAR LIMA :
Oi, anak muda. Apakah kau punya bukti otentik kalau bicara !?

SAMSUL :
Bukti ? ( MENGODE DENGAN TEPUKAN TANGAN )

BAKHTIAR MASUK MEMBAWA PEDAGANG PALSU

SAMSUL :
Siapa yang menyuruh bapak untuk meracuni Sitty ? ( KEPADA  PEDAGANG PALSU )

PEDAGANG PALSU :
Itu, Situ. Maksud saya orang itu (
MENUNJUK PENDEKAR LIMA )

SAMSUL :
Berapa bapak dibayarnya ?


PEDAGANG PALSU :
Tadi saya dikasihnya uang segini ( HENDAK MENGELUARKAN SELURUH ISI SAKUNYA ). Janjinya saya akan dikasih uang banyak, satu juta katanya. Jadi saya mau. Perintah cuma menyerahkan onde-onde itu pada Samsul Bahri. Samsul Bahrinya tidak ada. Tapi Nona Sitty membeli onde-onde itu dan mengasih saya uang.

SAMSUL :
Maksud bapak ?

PEDAGANG PALSU :
Aduh, ini sudah tiga kali saya jelaskan pada kalian !

BAKHTIAR :
Jadi tidak usah berkelit lagi dari kami, Datuk !

SAMSUL :
Datuk hendak meracuni saya agar Sitty bisa jatuh ke tangan Datuk ? Terlalu sempit jalan pikiran datuk. Tidak semua orang bisa Datuk bodoh-bodohi. Zaman sudah bertukar, Datuk ! Nah, sekarang kau harus me......

ARIFIN MASUK DENGAN RAUT MUKA TEGANG BERCAMPUR TANGIS.

ARIFIN :
Sitty sudah mendahului kita.

SEMUA :
Sitty !?

SAMSUL :
Gaek keparat ! ( HENDAK MENYERANG DATUK )

DATUK :
Lari !

PENDEKAR LIMA :
Kita hadapi saja, saatnya perhitungan terakhir, Datuk
!

BAKHTIAR :
Oooooooiii ! Babi hutan masuk ke ladang !

BEBERAPA ORANG SISWA MASUK MEMBAWA BENDA-BEDA KERAS DI TANGAN. MEREKA LANGSUNG MENYERANG SEHINGGA TERJADI TAWURAN.
           
“Bagi saya.”
            “Ini. Hajar !”
            “Kubunuh kau, anak ingusan !”
            “Ayo, pak tua !”
            “Beraninya keroyokan !”
            “Sudah biasa, Datuk !”
            “Ekstrakurikuler !”

DALAM PERISTIWA TAWURAN ITU SAMSUL BAHRI TEWAS TERTUSUK BELATI OLEH DATUK, SEDANGKAN DATUK MARINGGIH TEWAS DIKEROYOK SISWA DENGAN BATU.

            “Samsul !?”

KAWAN SAMSUL MENGANGKAT TUBUH SAMSUL KELUAR. PENDEKAR LIMA DAN PEDAGANG PALSU MELARIKAN DIRI.

* * *



V.

DI SUDUT JALAN BEBERAPA HARI KEMUDIAN, SEORANG LAKI-LAKI BERPAKAIAN LUSUH DUDUK DI HALTE. IA TENGAH BERBICARA SEORANG DIRI.

AYAH :
Sitty...kembalilah Sitty...dst.

SUARA-SUARA :
Sitty di sini Ayah. Menjelma gunung. Orang-orang mendaki, seperti mendaki mimpi. Sitty melihat mimpi itu, Ayah. Bintang jatuh ke samudera jiwa, jiwa lepas dari tubuh....

AYAH :
Kemarilah, sayang. Maafkan Ayah, kemarilah...peluk Ayah....dst.

SUARA-SUARA :
Sitty di sini Ayah. Serupa jembatan, antara masa lalu, masa kini, dan masa datang. Jembatan waktu yang melingkar, metamorfosis. Orang-orang melintas, datang, singgah, pergi, dan menghilang.

AYAH :
Jangan cengeng, Sitty ! Ayo, berdiri. Ayo! Bangun, nak. Lepaskan kemanjaan...dst.

SUARA-SUARA :
Sitty jadi muara, Ayah. Tempat segalanya berakhir. Akhir dari kepedihan, akhir dari segala dendam. Akhir dari mimpi-mimpi yang dihanyutkan orang dari hulu, dari masa lalu. Telah jadi kisah, Ayah. Yang melahirkan seribu tafsir.... Meski kita tidak pernah tahu kapan episode ini berakhir....

LAMPU PERLAHAN MENYURUT. PADAM.

SELESAI


  
Bukandiya april-mei 2004



BIODATA PENULIS

Nama               : Ilham Yusardi
TTL                 : Padang, 28 April 1982
Alamat                        : Jl. DR. M. Hatta RT 05 / RW 01 No. 29-30 Anduring Padang 25151
Alamat Surat       : Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra Univ. Andalas Padang PO. BOX 235.

Status              : Mahasiswa Sastra Indonesia FSUA angkatan 2001

Aktivitas                                : Menulis puisi, cerpen, esai. Aktif di Teater LANGKAH FSUA, HMJ SASINDO, Teater GARAK. Pernah ikut berbagai pementasan teater. Diantaranya; “Suara-suara Patung” karya Mila K. Sari, “Primordial II” karya S. Metron M. Di beberapa kota di Sumatera Barat.  
No. Rekening  : 107.750093953.901 Atas nama HARIYANTO. Kantor BNI Capem. Andalas Limau Manih.

Tidak ada komentar: