SITTY NOERBAJA
(EPISODE
LEPAS DARI BUMI)
OLEH
ILHAM YUSARDI
PEMAIN
Seorang perempuan muda, berperan sebagai SITTY
NOERBAJA
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai SAMSUL BAHRI
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai BAKHTIAR
Seorang laki-laki muda, berperan sebagai ARIFIN
Seorang laki-laki paruh baya, berperan sebagai AYAH
Seorang laki-laki tua, berperan sebagai DATUK MARINGGIH
Seorang laki-laki, berperan sebagai PENDEKAR LIMA
Seorang laki-laki, berperan sebagai PEDAGANG
Seorang laki-laki, berperan sebagai PEDAGANG PALSU ( SURUHAN DATUK )
Beberapa orang SISWA.
I.
PENTAS MENGGAMBARKAN SESUDUT
JALAN ATAU HALTE TEMPAT ANAK-ANAK SEKOLAH MENUNGGU JEMPUTAN ATAU ANGKUTAN UMUM.
DI SITU MANGKAL SEORANG PEDAGANG GEROBAK YANG MENJUAL MAKANAN DAN MINUMAN RINGAN.
DI SEBELAH KIRI TERDAPAT SEBUAH RAMBU-RAMBU YANG MENUNJUKAN TEMPAT PERHENTIAN
BUS.
SITTY, SAMSULBAHRI, BAKHTIAR DAN ARIFIN MASUK.
MEREKA BERCENGKRAMA SEPERTI ADAYANG DIPERDEBATKAN.
BAKHTIAR :
Yang namanya hidup di dunia
tentu harus dengan akal, pandai-pandai. Kalau hidup di akhirat baru mesti
dengan iman.
SITTY :
Tapi, melihat jimat saat
ujian tadi kamu bilang pandai, Bakhtiar ? Bukankah itu cara yang licik.
ARIFIN :
Kalau saya berpendapat lain.
Yang dilakukan Bakhtiar diwaktu ujian tadi namanya ‘licik pandai’, bukan cerdik
pandai.
BAKHTIAR
:
Aah, hei. Untuk hasil maksimal dibutuhkan usaha yang maksimal. Betulkan Samsul ?
Aah, hei. Untuk hasil maksimal dibutuhkan usaha yang maksimal. Betulkan Samsul ?
SAMSUL :
Kata-kata itu benar. Kamunya
yang tidak benar. Usaha maksimal bukannya menghalalkan segala cara. Ingat, alam
terkembang jadikan guru. Bisa-bisa berubah pepatah itu, jimat terkembang otak
membeku.
SEMUA TERTAWA MENDENGARNYA
PEDAGANG :
Oi ! onde-onde, onde-onde
mande. Tertawa sambil makan onde-onde pasti lebih asyik.
( SITTY MEMERIKSA SAKUNYA )
SITTY :
Ujian tadi baru tahap
percobaan. Apakah kamu bisa melihat jimat saat ujian akhir yang sebenarnya,
Bakhtiar ?
ARIFIN
:
Kalau saya berpendapat lain. Resiko untuk melakukan kecurangan di ujian akhir sangat besar. Melihat kiri-kanan saja mungkin dicurigai. Bertanya tetangga ?, sesekali jangan. Nah, apalagi lihat jimat, kertas kecil apapun jenisnya pasti akan gagal.
Kalau saya berpendapat lain. Resiko untuk melakukan kecurangan di ujian akhir sangat besar. Melihat kiri-kanan saja mungkin dicurigai. Bertanya tetangga ?, sesekali jangan. Nah, apalagi lihat jimat, kertas kecil apapun jenisnya pasti akan gagal.
SAMSUL :
Barangkali Bakhtiar siap
dengan resiko, didiskualifikasi.
ARIFIN :
Nah..., dari pada kepala
pusing. Menurut pendapat saya. Lebih baik begini. Pertanyaan yang tidak
terjawab oleh kita, gunakan pilihan bantuan. Pertama, ask the audience, kode tetangga-tetangga sebelah. Kalau dicurigai,
urungkan niat. Kedua, phone a friends,
siapkan kertas kecil untuk sms-sms-an,” bantu saya nomor sekian”. Lemparkan
pada kawan yang mungkin tahu jawabannya. Tidak bisa juga ! Baru gunakan fifty-fifty.
BAKHTIAR
:
Fifty-fifty bagaimana ?
Fifty-fifty bagaimana ?
ARIFIN
:
Tentukan dua pilihan jawaban yang menurut kamu paling berkemungkinan benar. Dari dua jawaban tersebut, pilih satu saja dengan cara menimbang ( MENIRUKAN DENGAN TANGAN ). “Ma rancak iko pado iko, rancak iko”
Tentukan dua pilihan jawaban yang menurut kamu paling berkemungkinan benar. Dari dua jawaban tersebut, pilih satu saja dengan cara menimbang ( MENIRUKAN DENGAN TANGAN ). “Ma rancak iko pado iko, rancak iko”
Nah, dapatlah satu
jawabannya. Untung-untung betul. Gampangkan.... ?
SAMSUL :
Alaahh...., sama juga bohong
Arifin.
SITTY :
Tidak ada gunanya. Seperti
kata petuah :
Jalar-menjalar akar benalu
Kita belajar menuntut ilmu
Tabiat buruk tak akan berharga
ARIFIN :
Tapi bukankah fifty-fifty itu sah saja. Lain halnya
dengan cara Bakhtiar yang menurut pendapat saya....
BAKHTIAR
:
Sudah, sudah. Waktu seminggu itu masih panjang. Cukup untuk bersantai menenangkan pikiran. Pergi piknik, tenangkan jiwa.
Sudah, sudah. Waktu seminggu itu masih panjang. Cukup untuk bersantai menenangkan pikiran. Pergi piknik, tenangkan jiwa.
SAMSUL
:
Seminggu kamu bilang masih panjang ? Mana jari tanganmu ? Hitung mundur mulai detik ini. Saatnya siaga satu, kawan.
Seminggu kamu bilang masih panjang ? Mana jari tanganmu ? Hitung mundur mulai detik ini. Saatnya siaga satu, kawan.
BAKHTIAR :
Jangan tegang, rileks saja.
Kita tentu punya cara masing-masing sebelum bertempur. Kalau saya, butuh refreshing dulu sebelum menuju
gelanggang. Kalau mau belajar kejar tayang menghafal buku-buku, silahkan coba.
Bisa-bisa meledak itu kepala.
ARIFIN
:
Dasar pemalas !
Dasar pemalas !
BAKHTIAR
:
Terserah saja, sekarang lebih baik pulang. Dengar,
Terserah saja, sekarang lebih baik pulang. Dengar,
Batang purut di tepi pagar
Ditanam putri anak bangsawan
Kerontang perut karena lapar
Segera pulang mencari makan.
Ayo, Arifin. Kamu pulang
bersama saya atau tidak ? Biarlah mereka berdua menggagas masa depan. Apakah
kamu mau jadi pamong terus, jadi obat nyamuk bakarnya ? ( ARIFIN MENGIKUTI
BAKHTIAR ) Samsul, Sitty, kami duluan. O, ya. Bayar onde-onde kami ini. Buat
tutup mulut kami. Daaah.., selamat berindehoi !
BAKHTIAR DAN ARIFIN KELUAR
SETELAH MENGAMBIL BEBERAPA ONDE-ONDE
SAMSUL :
Cerdik juga dia !
Kamu lapar, Sitty ?
SITTY
:
(MENGGELENG)
SAMSUL :
Benar tidak lapar ?
(MENGGELENG)
SAMSUL :
Benar tidak lapar ?
SITTY
:
( MENGGELENG )
( MENGGELENG )
SAMSUL
:
Bagaimana kalau kita beli onde-onde. Sekedar pengganjal perut.
Bagaimana kalau kita beli onde-onde. Sekedar pengganjal perut.
SITTY :
Mau, mau ! Boleh juga.
SAMSUL MENUJU PEDAGANG
SAMSUL :
Onde-ondenya, pak.
PEDAGANG
:
Nah, begitu. Perhatikan juga nasib orang kecil seperti saya. Masa seharian saya berjualan di sini tidak ada yang beli ? Makanya dari tadi saya tawarkan onde-onde ini. Saya tahu kalau putrimu itu sangat suka onde-onde. Dia kan langganan saya.
Nah, begitu. Perhatikan juga nasib orang kecil seperti saya. Masa seharian saya berjualan di sini tidak ada yang beli ? Makanya dari tadi saya tawarkan onde-onde ini. Saya tahu kalau putrimu itu sangat suka onde-onde. Dia kan langganan saya.
SAMSUL
:
Berapa, pak ?
Berapa, pak ?
PEDAGANG
:
Belum seberapa, sepuluh onde-onde baru lima ribu saja. Kali ini saya kasih bonus dua buah. Buat nona Sitty.
Belum seberapa, sepuluh onde-onde baru lima ribu saja. Kali ini saya kasih bonus dua buah. Buat nona Sitty.
SAMSUL :
O. Ya. Terima kasih. Bapak baik sekali. Eh,
benar tidak, pak ? Kata orang, hari esok harus lebih baik dari hari ini.
PEDAGANG
:
Ya, harus !
Ya, harus !
SAMSUL
:
Kalau begitu besok bapak harus lebih baik. Besok, kalau saya beli onde-onde bonusnya harus lebih dari dua. Hehehe ......
Kalau begitu besok bapak harus lebih baik. Besok, kalau saya beli onde-onde bonusnya harus lebih dari dua. Hehehe ......
PEDAGANG
:
Pintar juga otakmu.
Pintar juga otakmu.
SAMSUL KEMBALI KE TEMPAT
SITTY
SAMSUL
:
Sitty, ini onde-ondenya. Makanlah. Bapak itu memberi bonus buat kamu.
Sitty, ini onde-ondenya. Makanlah. Bapak itu memberi bonus buat kamu.
SITTY :
O, ya. Kalau saya tadi yang
beli pasti bonusnya lebih dari dua.
SITTY DAN SAMSUL DUDUK
MENIKMATI ONDE-ONDE
SAMSUL :
Sitty, selepas lulus sekolah
nanti, ayahku menyuruhku untuk meneruskan ke perguruan tinggi. Aku sendiri
setuju dengan itu. Kalau kamu bagaimana ?
SITTY :
Baguslah. Siapa yang tidak
bangga bisa lanjut ke jenjang yang lebih tinggi . Ayahmu tentu telah menyiapkan
semua demi kamu. Aku sendiri belum tentu, Sam. Belakangan ini ayahku
sakit-sakitan. Aku tidak mungkin memaksakan keinginanku dalam kondisi seperti
ini. O... rencananya kamu mau melanjutkan kemana, Sam ?
SAMSUL
:
Ayahku menyarankan untuk kuliah di luar negeri.
Ayahku menyarankan untuk kuliah di luar negeri.
SITTY :
Luar negeri ?!
SAMSUL
:
Iya, Sitty. Tidak di sini.
Iya, Sitty. Tidak di sini.
SITTY :
Kenapa mesti ke luar negeri,
Sam ?
SAMSUL
:
Kata ayahku, sangat baik untukku nantinya. Dengan kuliah di luar negeri kita bisa mendapatkan ilmu dengan maksimal.
Kata ayahku, sangat baik untukku nantinya. Dengan kuliah di luar negeri kita bisa mendapatkan ilmu dengan maksimal.
SITTY
:
Di sini juga bisa, bukan ? Banyak perguruan tinggi yang tidak kalah kualitasnya. Dan lagi, kuliah di luar itu butuh biaya besar, Sam. Apakah ayahmu sudah memikirkannya matang-matang ?
Di sini juga bisa, bukan ? Banyak perguruan tinggi yang tidak kalah kualitasnya. Dan lagi, kuliah di luar itu butuh biaya besar, Sam. Apakah ayahmu sudah memikirkannya matang-matang ?
SAMSUL :
Ah, entahlah. Selain itu
sebenarnya aku belum siap untuk merantau terlalu jauh. Jauh dari kampung
halaman, jauh dari keluarga, dan tentu akan menjauhkan aku dari kamu Sitty.
SITTY
:
Jauh tidak lagi persoalan, Sam. Selagi masih di bumi ini. Apalagi zaman sekarang ini. Jarak dan waktu bisa direkayasa dengan teknologi.
Jauh tidak lagi persoalan, Sam. Selagi masih di bumi ini. Apalagi zaman sekarang ini. Jarak dan waktu bisa direkayasa dengan teknologi.
SAMSUL
:
Aku tidak ingin jauh dari kamu Sitty.
Aku tidak ingin jauh dari kamu Sitty.
Anak baginda berburu rusa
Rusa mati tertembak panah
Jika kasih jauh dimata
Rasa mati badan sebelah.
SITTY
:
Burung puyuh masuk ke rimba
Burung puyuh masuk ke rimba
Di dahan jati singgah merapat
Meskipun jauh dipelupuk mata
Di dalam hati tetapkan dekat.
SAMSUL
:
Ombak berdentum di hujan lebat
Ombak berdentum di hujan lebat
Sampan melaju ke pulau seberang
Badan bertemu makanya senang.
Kalau lama tidak ke ladang
Tinggilah rumput dari padi
Kalau lama tak bisa kupandang
Rasa rindu menjadi-jadi.
SITTY
:
Risau kicaunya si anak balam
Risau kicaunya si anak balam
Ditinggal induknya di pohon jambu
Walau tak bisa berjawat tangan
Di dalam mimpi kita bertemu.
Utara selatan jadi penjuru
Timur dan barat jadi pedoman
Jika tuan dilanda rindu
Dikerat rambut jadikan kenangan.
SAMSUL :
Tetak lontar alaskan padi
Peti dibawa dari Palembang
Bertemu sebentar bagaikan mimpi
Itu membawa hatiku bimbang
Bendi
dipapah jalan berliku
Mengangkut sirih ke tengah pekan
Kaki dilangkah terasa kaku
Takut kasih berpindah tangan.
SITTY :
Anak Kediri berdagang kain
Kain
disimpan dalam peti
Niat diri tidak pada yang lain
Tuan terikat di dalam hati.
Anak dara bersunting kembang
Rupanya elok serta jelita
Banyak dara di negeri orang
Tidakkah tuan bersimpang mata.
SAMSUL :
Manis-manis bukannya tebu
Manisnya manis si gula jawa
Manis tidak sekedar dari rupamu
Manis kupandang budi bahasa.
Surabaya kota pahlawan
Dikenang seluruh anak negeri
Sitty Noerbaja yang menawan
Tak akan kudapati di luar negeri.
SITTY :
Merah warnanya si bunga mawar
Putih suci bunga melati
Janji bukan untuk ditawar
Kasih hanya dilerai mati
SAMSUL :
Tanam
melati di depan rumah
Ubur-ubur
berdamping dua
Jikalau mati kita bersama
Satu kubur kita berdua.
SITTY
:
Ubur-ubur berdamping dua
Ubur-ubur berdamping dua
Tanam melati bersusun tangkai
Kalau mati kita berdua
Jikalau boleh bersusun bangkai.
SAMSUL :
Tanam melatai bersusun tangkai
Tanam padi satu persatu
Jikalau boleh bersusun tangkai
Daging melebur jadi satu.
TANPA DISADARI, PEDAGANG
MEMPERHATIKAN PERCINTAAN SAMSUL DENGAN SITTY.
PEDAGANG :
“Allahuakbar
Allahuakbar..............!!” ( KEARAH SITTY DAN SAMSUL )
SAMSUL
:
Hah ! O . Ayo kita pulang, Sitty. Sudah terlalu senja. Nanti orang di rumah marah-marah. Merantaunya masih lama. Lulus saja juga belum tentu.
Hah ! O . Ayo kita pulang, Sitty. Sudah terlalu senja. Nanti orang di rumah marah-marah. Merantaunya masih lama. Lulus saja juga belum tentu.
SAMSUL DAN SITTY KELUAR
PEDAGANG :
Ikat berikat tali kuda
Pasang pelana kuda yang putih
Hati terikat samanya muda
Lupa waktu sebab berkasih
Minta daun diberi daun
Dalam daun buah bidara
Minta pantun diberi pantun
Dalam pantun ada cerita
PEDAGANG ITU PUN KEMUDIAN
MENUTUP DAGANGANNYA. KELUAR SERAYA MEMBAWA RAMBU-RAMBU YANG TERNYATA BISA
DICABUT DENGAN MUDAH.
* *
*
II.
DI RUANGAN SEBUAH RUMAH
SEORANG LAKI- LAKI SEPARUH BAYA DUDUK.
LAKI-LAKI ITU TERBATUK-BATUK SERAYA MENGUSAP-USAP DADANYA MENAHAN SAKIT. ANAK
PEREMPUANNYA DUDUK DI SEBELAH LAKI-LAKI ITU, SESEKALI MEMIJIT-MIJIT BAHUNYA.
SITTY :
Istirahatlah lagi ayah,
sudah terlalu larut.
AYAH :
Tidak mudah tidur bagi ayah
sekarang ini, Sitty.
Dipejam mata tak terpejam
Direbah tubuh tak jua senang
perasaan.
SITTY
:
Apalagi yang ayah pikirkan ? Bukankah ayah pernah bilang pada Sitty,
Apalagi yang ayah pikirkan ? Bukankah ayah pernah bilang pada Sitty,
Tidaklah beban jadi rasian
Habis daging dihisapnya.
AYAH
:
Sitty, anakku. Kamu ini seperti orang dulu bilang,
Sitty, anakku. Kamu ini seperti orang dulu bilang,
Kecil tak lagi untuk
disuruh-suruh.
Besar belumlah dapat
ditumpangi.
SITTY
:
Ah, ayah. Kecil Sitty anak ayah, besar juga tetap anak ayah. Kalau boleh Sitty tahu, apa yang ayah pikirkan ?
Ah, ayah. Kecil Sitty anak ayah, besar juga tetap anak ayah. Kalau boleh Sitty tahu, apa yang ayah pikirkan ?
AYAH :
Dipintal benang dengan
gulungan
Biar berpisah pangkal dengan
ujungnya
Tak kusut pula dalam
genggaman.
Tapi, kali ini kamu
terpegang ujung benang, Sitty.
Ayah memintal dari
pangkalnya.
SITTY :
Kalaulah ujung di tangan
Sitty, tentulah Sitty takkan berlepas tangan.
Ceritakanlah ayah. Dengan
senang Sitty dengarkan.
AYAH :
( MENARIK NAFAS )
Berniaga ke tanah Jawa
dagang emas dengan budi bahasa.
Tapi, bagaimanapun, untung
tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Nasib tertoreh di telapak
tangan.
Niat hendak menyekolahkanmu
tinggi-tinggi, biar bertambah isi kepala.
Cita-cita membumbung langit,
Tuhan dari atas jua yang menentukan.
Jerih peluh usaha niaga kita
kali ini telah habis surut, Sitty. Ayah tak dapat lagi berbuat apa-apa.
Sekarang, kamu juga tahu, harta ayah hanya tinggal badan sepembawaan ini.
Hutang-hutang tumbuh melilit pinggang. Mencekik kerongkongan.
SITTY :
Sitty mengerti, ayah.
AYAH :
Hutang emas dibayar emas.
Hutang budi, tentulah dibawa mati.
SITTY :
Benar ayah.
AYAH :
Kemarin Datuk Maringgih
datang ke sini. Tak lain untuk menagih hutang pinjaman dagang yang sudah jatuh
tempo. Ayah meminta Datuk menambah jangka waktu yang diberikan. Tapi, dia
menolak. Karena telah melewati batas waktu yang seharusnya. Sehingga bunganya
sudah berlipat ganda. Rumah yang satu-satunya inipun hendak disitanya. Dan
itupun belum juga akan menutupi hutang kita Sitty.
SITTY :
Iya, ayah. Sitty paham,
ayah.
AYAH :
Panjang cerita segelas kopi,
direntang masa setinggi bulan. Bersilat lidah di perbincangan, berkecamuk darah
dalam dada.
Ah. Hutang kita seperti
memotong rumput di tengah padang. Potong dipotong tumbuh jua. Bunganya menjulang
menyentuh lutut. Tiap melangkah terjatuh pula menyentuh tanah.
SITTY :
Sitty mengerti, ayah.
Jual gabah di tengah pekan,
gabah dibawa dengan bendi.
Kalaulah susah sama kita
pikirkan, nak lapang jua beban di hati.
Ayah, apa yang bisa Sitty
perbuat untuk itu, Ayah.
AYAH :
( KEMBALI MENARIK NAFAS,
KEMUDIAN MENGGELENGKAN KEPALA )
Daunmu terlalu hijau.
Berputik sudah, berbunga belum. Harumnya belumlah melintas pagar.
SITTY :
Maksud ayah.... ?
AYAH :
Sitty, hutang emas dibayar
emas ? Hutang budi dibayar budi ? Tapi, lain dengan Datuk Maringgih. Seluruh
hutang kita padanya, tidak berguna pepatah demikian. Datuk ingin
mempersuntingmu. Maka, lepaslah hutang yang selilit pinggang.
SITTY :
( TERKEJUT )
Dengan Sitty, ayah !? Datuk
Maringgih !?
AYAH :
Itulah jalan yang ia
pintaskan agar terlepas dari segala hutang.
SITTY :
Tidak, ... tidakkah ada
jalan lain, ayah ?
AYAH :
Kalaulah umur ayah masih
panjang, dan tenaga berisi di badan. Tentu ayah tidak akan memberi tahu kamu,
Sitty.
SITTY :
Tapi, ... Sitty belum ...
AYAH :
Sitty, Ayah paham kalau kamu
belum punya timbangan yang kuat, Sitty. Timbangan yang bagus tidak berat
sebelah. Berlebih semata ditentang dengan pikiran. Selepas kamu lulus sekolah
nanti, Datuk Maringgih hendak menjatuhkan hari.
SITTY :
( TERDIAM LAMA SEPERTI
BERPIKIR )
Ayah, bolehkah Sitty mohon
diri Ayah ?
Sudah berat kelopak mata. O,
ayah istirahatlah dahulu.
SITTY KELUAR MENINGGALKAN
AYAHNYA.
LAMPU MENYURUT.
* *
*
III.
PENTAS KEMBALI MENGGAMBARKAN
SESUDUT JALAN. PEDAGANG MENUNGGU ANAK-ANAK PULANG SEKOLAH.
DATUK MARINGGIH MASUK
BERSAMA PENDEKAR LIMA—ASISTEN, JUBIR SEKALIGUS PENGAWALNYA.
DATUK :
Sudah keluar anak sekolah
itu ?
PEDAGANG
:
O, belum Tuan. Mungkin sebentar lagi. Coba lihat arlojinya ( MENARIK TANGAN DATUK, MELIHAT ARLOJI ). Baru pukul lima lewat sedikit. Lihat, baru sedikit lewatnya. Sekolah bubar pukul setengah enam. Ya, setengahnya saja. Sebentar lagi. Sabar, sabar. Silahkan duduk dulu. Santai dulu. Dan saya punya onde-onde, enak rasanya. Silahkan dicoba. Kalau tidak percaya lihat saja nanti. Seorang gadis cantik akan memborong onde-onde ini, Sitty Noerbaja gadis....
O, belum Tuan. Mungkin sebentar lagi. Coba lihat arlojinya ( MENARIK TANGAN DATUK, MELIHAT ARLOJI ). Baru pukul lima lewat sedikit. Lihat, baru sedikit lewatnya. Sekolah bubar pukul setengah enam. Ya, setengahnya saja. Sebentar lagi. Sabar, sabar. Silahkan duduk dulu. Santai dulu. Dan saya punya onde-onde, enak rasanya. Silahkan dicoba. Kalau tidak percaya lihat saja nanti. Seorang gadis cantik akan memborong onde-onde ini, Sitty Noerbaja gadis....
DATUK :
Sitty Noerbaja ?!
PEDAGANG :
Tepat sekali. Gadis manis,
semanis tebu, suka onde-onde. Dia bilang onde-onde lebih hebat dari makanan import
manapun. Eh, apa Tuan menunggu Sitty Noerbaja ?
DATUK :
Ya. Saya menjemputnya.
PEDAGANG
:
Berarti Tuan ini keluarganya Sitty, kakeknya barangkali ?
Berarti Tuan ini keluarganya Sitty, kakeknya barangkali ?
PENDEKAR LIMA :
Heh ! Jangan asal bicara ya
!
PEDAGANG :
Bapaknya ?
PENDEKAR LIMA :
Datuk ini bukan bapaknya.
PEDAGANG :
Jadi, pamannya begitu ?
PENDEKAR LIMA :
Huhh ! Tidak kata saya !
PEDAGANG
:
Kakek bukan, bapak tidak, paman juga salah. Tapi ke sini untuk menjemput Sitty. Nah, berarti Tuan ini sopir pribadinya nona Sitty.
Kakek bukan, bapak tidak, paman juga salah. Tapi ke sini untuk menjemput Sitty. Nah, berarti Tuan ini sopir pribadinya nona Sitty.
PENDEKAR
LIMA :
Hei ! Mau kakek, kek. Mau bapak, kek. Mau paman, kek. Apa urusanmu ! Urus saja onde-ondemu itu.
Hei ! Mau kakek, kek. Mau bapak, kek. Mau paman, kek. Apa urusanmu ! Urus saja onde-ondemu itu.
PEDAGANG
:
O. Oke, oke. Maafkan saya. Tidak akan saya urus lagi. Ya, bukan urusan saya. Tapi ingat, sekedar informasi. Bagi saya, Sitty berarti onde-onde, seperti onde-onde. Lembut di luarnya, manis di dalamnya. Dia ramah sekali....
O. Oke, oke. Maafkan saya. Tidak akan saya urus lagi. Ya, bukan urusan saya. Tapi ingat, sekedar informasi. Bagi saya, Sitty berarti onde-onde, seperti onde-onde. Lembut di luarnya, manis di dalamnya. Dia ramah sekali....
DATUK
:
( KEPADA PENDEKAR LIMA )
( KEPADA PENDEKAR LIMA )
Coba kau lihat kesana. Lama
sekali keluarnya. Apa yang mereka perbuat di sekolah itu. Zaman saya sekolah
tidak terlalu penting. Lihat saya, tidak perlu sekolah tinggi-tinggi untuk bisa
hidup sejahtera. Cuma pakai akal-akalan. Kecil bahagia, muda foya-foya, tua
sejahtera, mati masuk......
PENDEKAR LIMA :
Itu dia, Datuk. Menuju
kesini. Anak sekolah keluar seperti kambing lepas dari kandang. Tapi, Sitty
bergandengan Datuk.
DATUK :
Bergandengan ! Dengan siapa
!?
PENDEKAR LIMA :
Dengan laki-laki. Mesra
sekali mereka.
DATUK :
Siapa laki-laki itu ? Hah !
Samsul Bahri. Anak Sutan Mahmud. Sudah melekat-lekat pula ia dengan Sitty.
SAMSUL , SITTY, BAHKTIAR DAN
ARIFIN MASUK.
SAMSUL :
Tuan Datuk Maringgih
rupanya. ( MENGULURKAN TANGAN HENDAK BERSALAMAN TAPI TIDAK DIBALAS OLEH DATUK )
PENDEKAR LIMA :
Oh, bersalaman dengan Datuk
harus melalui saya. Saya asisten, jubir, sekaligus pengawal pribadi Datuk. Jadi
segala apapun urusan dengan Datuk harus melalui saya.
DATUK :
Selamat sore Sitty. Sedari
tadi saya menunggu. Niat di hati hendak menjemputmu. Mobil sudah saya
persiapkan. Mari, kita berkeliling menikmati senja yang menarik ini. Bagaimana
kalau kita ke tepi laut, mencari angin segar sambil makan rujak atau jagung
bakar. Setelah itu kita ke plaza mencari oleh-oleh untuk ayahmu.
SITTY :
Ah, eh. O. Mmmh ... Datuk !?
DATUK :
Ayo Sitty, mari. ( MENARIK
TANGAN SITTY )
SAMSUL :
Ada apa ini Datuk ?
PENDEKAR LIMA :
Bukan urusan kamu !
SAMSUL
:
Ini jadi urusan saya.
Ini jadi urusan saya.
PENDEKAR LIMA :
Oi, urus saja dirimu
sendiri, kalau tidak mau berurusan panjang dengan saya !
SAMSUL :
Tapi jangan main ... !
SITTY :
Tenang Sam. Ini urusan saya.
Pulanglah dulu bersama Bachtiar dan Arifin. Saya mau bicara sebentar dengan
Tuan Datuk.
SAMSUL
:
Tapi, Sitty. Kamu...
Tapi, Sitty. Kamu...
SITTY :
Sam, saya mohon pengertian
kamu.
PENDEKAR LIMA :
Nah, kamu dengar tidak ?
Sitty menyuruhmu pergi dari sini. Tunggu apalagi, menunggu kena usir, ya ?
BACHTIAR :
Enak saja main usir. Ini
tempat umum tahu.
PENDEKAR LIMA :
Kamu juga mau turut campur
urusan ini, ya ? Mau tahu prosedur berurusan dengan saya ?
ARIFIN :
Op, op, op. Menurut pendapat
saya lebih baik kita mengalah. Mundur. Ayo. Sitty, kami duluan. Jaga diri baik-baik.
SAMSUL, BACHTIAR DAN ARIFIN
PERGI DENGAN KESAL.
SITTY
:
Datuk. Apa maksud Datuk menjemput saya ?
Datuk. Apa maksud Datuk menjemput saya ?
DATUK :
Saya bermaksud baik Sitty.
Mulai hari ini saya, eh, aku, akan menjemputmu. Sebagai seorang calon induk
berasku, alangkah menyenangkan kita bertemu setiap saat. Biar kita merasa
dekat. Bukan begitu hendaknya ?
SITTY :
Siapa yang menyuruh Datuk
melakukannya ?
DATUK :
O, tidak siapa-siapa. Ini
aku lakukan tulus dan murni dari hati nuraniku sendiri.
PENDEKAR LIMA :
Ah, tidak usah pakai menolak
segala. Turuti sajalah. Datuk akan membuat hari-harimu bahagia.
DATUK :
Saya tidak menyuruhmu bicara
!
SITTY :
Datuk. Saya tidak pernah
meminta untuk dijemput, Datuk.
DATUK :
Sitty, semua sudah saya
perhitungkan dengan ayahmu, Sitty. Tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan.
SITTY :
Tuan Datuk. Ini bukan
hitungan matematik, Tuan. Sebagai seorang yang jauh lebih dewasa, tentu Tuan
lebih paham dunia ini.
DATUK :
Ah, kau kan bukan lagi anak
kecil yang tidak bisa menentukan langkahmu sendiri. Sudah tujuh belas tahun.
Tentu kau mengerti Sitty.
SITTY :
Jalan saya masih panjang
Datuk. Saya belum berpikir melangkah sejauh ini. Alangkah bagusnya Datuk
mencari perempuan yang lebih dari saya. Lebih pantas, lebih pas menjalankan
hidup dengan Datuk.
DATUK :
Apalagi yang kamu cari
setamat sekolah ini, Sitty ? Lebih baik lakukan langkah besar. Apalagi, kamu
perempuan. Bukankah perempuan itu hanya ; sumur, dapur, dan kasur.
SITTY :
Tuan. Hendaklah Tuan
berpikir baik. Baik untuk Tuan, dan juga baik untuk saya.
PENDEKAR LIMA :
Ini sudah yang terbaik Datuk
lakukan untuk kamu dan Ayahmu, Sitty. Apakah kamu senang melihat ayahmu
sakit-sakitan memikirkan...
SITTY :
Tentang hutang Ayah saya
pada Datuk, saya berharap Datuk sabar. Berilah saya kesempatan. Tunggu saya
menyelesaikan sekolah saya dulu. Saya akan berusaha, bekerja mencari uang untuk
membayarnya.
PENDEKAR LIMA :
Heh ! Mau kerja apa kamu
Sitty ? Tidak gampang mencari pekerjaan di jaman sekarang ini. Kerja di kantor
? Di Bank ? Jangan mimpi Sitty. O, barangkali kamu bisa jadi babu, buruh kasar,
atau kamu jadi pekerja ... pekerja seks komersil.
SITTY :
( MENAHAN AMARAH )
Saya tidak bicara demikian
Tuan-tuan.
DATUK
:
Pendekar Lima. Saya tidak suruh kamu bicara. Diam saja di sana.
Pendekar Lima. Saya tidak suruh kamu bicara. Diam saja di sana.
Jadi, kamu keberatan dengan
aku Sitty ?
SITTY :
Maafkan saya Tuan Datuk.
DATUK :
Saya tidak main-main Sitty.
PENDEKAR LIMA :
Tidak tahu diuntung pula kau
rupanya. Ingat. Hutang ayahmu dengan Datuk sudah terlalu banyak. Mau dibayar
dengan apa lagi ? Ayahmu sudah menjual seluruh perusahaan dagangnya. Untuk
bunganya saja itu pun belum cukup. Ayahmu sudah mulai bicara sendiri
memikirkannya. Lebih baik kau bayar lunas dengan ...
SITTY :
Hutang emas dibayar emas,
Tuan.
PENDEKAR LIMA :
Jadi kau kemanakan perbuatan
baik Datuk selama ini pada ayahmu ?
SITTY :
Saya akan selalu
mengingatnya. Tidak akan saya lupakan, bahwa Datuk adalah seorang yang baik.
Bahkan terlalu baik.
PENDEKAR LIMA :
Nah, tunggu apa lagi ?
SITTY :
Namun, keinginan Datuk
terhadap saya, apakah baik buat saya ?
PENDEKAR LIMA :
Jelas sangat baik. Niat baik
Datuk tidak akan ada yang menghalangi.
SITTY :
Belum tentu, Tuan. Kalau
Tuhan berkeinginan lain, tidaklah boleh mendahului yang di atas.
DATUK :
Hhh. Jangan bermain-main,
apalagi mempermainkan saya. Jadi kamu menolak saya ? Saya tidak pantas untuk
kamu, begitu ? Lalu, siapa yang pantas ?
PENDEKAR LIMA :
Samsul Bahri tentu telah
mempengaruhi otaknya.
SITTY :
Tidak baik menyangkut – pautkan persoalan ini dengan orang lain,
Tuan. Samsul tidak tahu apa-apa dengan masalah ini.
PENDEKAR LIMA :
Jangan bersilat lidah,
Sitty. Sejak kapan kau berhubungan dengan dia ? Sudah sejauh mana ?
Jangan-jangan kau telah melakukan......
SITTY :
Cukup Tuan. Persoalan ini
hanya antara keluarga saya dengan tuan Datuk.
DATUK
:
Baik, baik. Sitty ! Silahkan kamu berpikir baik-baik sekarang. Baik untuk kamu serta ayahmu. Terserah ! Saya tunggu keputusanmu.
Baik, baik. Sitty ! Silahkan kamu berpikir baik-baik sekarang. Baik untuk kamu serta ayahmu. Terserah ! Saya tunggu keputusanmu.
SITTY :
Sekali lagi, saya mohon
maaf dan berharap Tuan mengerti. Maafkan
atas kelancangan saya. Saya mohon diri dulu, Tuan. Saya pulang.
SITTY KELUAR
PENDEKAR LIMA :
Keras kepala juga dia !
DATUK
:
Keras hati, pendekar.
Keras hati, pendekar.
PENDEKAR
LIMA :
Keras hatinya pada Samsul Bahri.
Keras hatinya pada Samsul Bahri.
DATUK :
Mmmh. Hehehe ... Samsul
Bahri !? Tampaknya dia akan menjadi batu sandungan bagi langkah saya. Tapi dia
bukan masalah yang besar. Pendekar, ke sini !
( MEMBISIKAN
SESUATU. PENDEKAR MENGANGGUK-ANGGUK )
PENDEKAR LIMA :
Ide yang usul. Tapi...
DATUK :
Tapi bagaimana ?
PENDEKAR LIMA :
Begini Datuk, apakah setelah
ini dilakukan Sitty akan mau dengan Datuk ? Tentu dia akan tambah sulit
didekati. Lebih baik langsung Sitty saja, Datuk.
DATUK :
Kamu gila ya ! Tujuan saya
itu jelas-jelas Sitty. Kenapa Sitty pula yang dijadikan sasaran. Goblok !
Sekarang gunakan otakmu, bagaimana caranya.
PENDEKAR LIMA :
O. Baik. Begini ( BEBICARA
PELAN DENGAN DATUK, SESEKALI MENUNJUK KE ARAH PEDAGANG )
DATUK :
Bagus, bagus. Sekarang
gunakan bibirmu itu kesana.
PENDEKAR LIMA MENDEKATI
PEDAGANG.
PEDAGANG :
Eh, Tuan. Kelihatan serius
sekali pembicaraan tuan-tuan dengan Nona Sitty. Sehingga Ia tidak sempat
menikmati onde-onde saya. Rejeki saya jadi hilang begitu saja.
PENDEKAR LIMA :
Ah, biasalah. Kami ini
memiliki sebuah Production House yang
sedang menggarap sebuah film baru. Pembicaraan tadi itu, kami menawarkan sebuah
peran pada Sitty Noerbaja. Tapi dia masih ragu. Pikir-pikir dulu katanya (
MEMAKAN SEBUAH ONDE-ONDE ) Mmmh..onde-ondenya enak sekali.
PEDAGANG
:
Tuan mengajak Sitty main film ? Dia menolaknya ?
Tuan mengajak Sitty main film ? Dia menolaknya ?
PENDEKAR LIMA :
O, Belum. Sitty belum
memutuskannya tadi.
( MEMATUT-MATUT GEROBAK
PEDAGANG )
Selain dengan Sitty,
sepertinya kita juga bisa berkerjasama.
PEDAGANG :
Bekerjasama ? Tuan
membutuhkan saya untuk main film ?
PENDEKAR LIMA :
Ya. Kami membutuhkan gerobak
Anda ini untuk setting sebuah adegan
di film kami nantinya.
PEDAGANG :
Aah..., masa cuma gerobaknya
saja. Sayanya tidak. Memang apa judul filmnya ?
PENDEKAR
LIMA :
Mmmh. “Tidak Ada Apa-apa Dengan Cinta”.
Mmmh. “Tidak Ada Apa-apa Dengan Cinta”.
PEDAGANG :
Lho ! Kok pakai kata ‘tidak’ ?
PENDEKAR LIMA :
Di situlah nilai jual film
ini, lain dari yang lain. Film ini akan memperlihatkan bahwa tidak ada apa-apa
dengan cinta. Persetan dengan yang namanya cinta. Nah, pengambilan gambar
pertamanya akan dilakukan di sini. Sitty akan memainkan tokoh utamanya yang
sedang menunggu kekasihnya sambil makan onde-onde.
PEDAGANG :
Makan onde-onde ? Wah, cocok
sekali dengan hobinya.
PENDEKAR LIMA :
Karena itulah kami
memberikan peran ini pada dia.
PEDAGANG :
Semestinya saya juga diajak,
dikasih peran. Saya ini kan sudah biasa melakukan adegan yang Tuan inginkan.
Sitty pasti senang dengan saya sebagai lawan mainnya.
PENDEKAR
LIMA :
Sayang, wajah Anda itu tidak Kameragenik
Sayang, wajah Anda itu tidak Kameragenik
PEDAGANG :
Apa maksudnya ?
PENDEKAR LIMA :
Wajah Anda itu tidak menarik
jika dishoot dengan kamera. Itu akan
merusak citra film ini di mata penonton nantinya. Jadi saya cuma pakai
gerobaknya saja. Bagaimana ? Mau tidak ? Kami hargai ( MEMBERI PENJELASAN
DENGAN TANGAN SAMBIL BERBISIK ).
PEDAGANG :
Ah, cuma segitu ? Biasanya
seorang produser itu sangat royal. Apalagi untuk sebuah adegan penting.
PENDEKAR LIMA :
Tenang, sesudah pengambilan
gambar adegan ini akan saya tambah. Dua kali lipat, bagaimana ?
PEDAGANG :
Nah, begitu. Kerjasama
disepakati. Tapi.....
PENDEKAR LIMA :
( HENDAK BERBALIK KE TEMPAT
DATUK ) Apa lagi !?
PEDAGANG
:
Tadi kata Tuan, Nona Sitty belum memastikan dirinya untuk.......
Tadi kata Tuan, Nona Sitty belum memastikan dirinya untuk.......
PENDEKAR
LIMA :
O. Itu bukan urusan kamu. Nanti akan kami hubungi lagi dia. Cuma persoalan nilai kontrak. Dengan nilai yang lebih tinggi, pasti Sitty tidak akan sanggup menolaknya.
O. Itu bukan urusan kamu. Nanti akan kami hubungi lagi dia. Cuma persoalan nilai kontrak. Dengan nilai yang lebih tinggi, pasti Sitty tidak akan sanggup menolaknya.
( MENUJU DATUK )
DATUK
:
Bagaimana, Pendekar ?
Bagaimana, Pendekar ?
PENDEKAR LIMA :
Beres, Datuk. Semua sudah
saya persiapkan
DATUK :
Bagus. Tidak percuma kau
kuangkat jadi jubir, bibirmu tak kalah cepatnya dengan otakmu. Setelah Samsul
dibereskan, tidak ada lagi halangan bagi saya menuju Sitty. Oh, Sitty ( SERAYA
MENERAWANG ).
* * *
IV.
SEORANG PEDAGANG PALSU
SURUHAN PENDEKAR LIMA TELAH SIAP DI TEMPAT ITU. IA MONDAR-MANDIR MENUNGGU
ANAK-ANAK SEKOLAH KELUAR.
SITTY MASUK, HERAN MELIHAT
PEDAGANG ITU.
PEDAGANG PALSU :
O. Mmh, nona pasti Sitty Noerbaja.
SITTY
:
Betul. Tapi bapak ini siapa ? Biasanya kan pak Amat yang berjualan dengan gerobak ini.
Betul. Tapi bapak ini siapa ? Biasanya kan pak Amat yang berjualan dengan gerobak ini.
PEDAGANG PALSU :
Saya ini... anu, maksud
saya, saya ini saudara dari isterinya si Amat yang biasanya berjualan di sini.
Berhubungan si Amatnya ada urusan ke situ...., maksud saya ke....kampung
isterinya itu, saya diminta untuk menggantikannya. Daripada tidak untung....Eh,
maksud saya daripada merugi, lebih baik saya yang menjual-jual dagangannya hari ini. Katanya dia ada......
SITTY :
Ada apa, Pak ?
PEDAGANG PALSU :
Ah, entahlah. Tidak tahu
saya. Pokoknya anu. Penting !
SITTY :
Maksud bapak urusan penting.
PEDAGANG
PALSU :
Nah, betul. Seperti yang Nona maksudkan tadi.
Nah, betul. Seperti yang Nona maksudkan tadi.
Yang penting bagi saya itu,
si anu, maksud saya, teman Nona yang bernama Samsul itu .
SITTY
:
O, Samsul Bahri. Dia belum keluar. Sebentar lagi. Saya biasa menunggunya di sini.
O, Samsul Bahri. Dia belum keluar. Sebentar lagi. Saya biasa menunggunya di sini.
Ada perlu apa bapak dengan
Samsul ?
PEDAGANG PALSU :
Begini. Saya ini di....,
maksud saya ada sesuatu yang akan saya......
SITTY :
Maksud bapak ada yang ingin
bapak sampaikan pada Samsul ? Katakan saja pada saya, nanti saya sampaikan pada
Samsul.
PEDAGANG PALSU :
Ooo...tidak bisa, maksud
saya tidak usah. Biar saya saja. Ini juga penting Nona.
SITTY :
Memangnya siapa yang
berpesan ?
PEDAGANG
PALSU :
Si itu..., si anu, maksud saya.......
Si itu..., si anu, maksud saya.......
SITTY
:
Pak Amat ?
Pak Amat ?
PEDAGANG
PALSU :
Iya, ya, seharusnya saya bilang begitu. Hehehe........
Iya, ya, seharusnya saya bilang begitu. Hehehe........
SEMENTARA PEDAGANG PALSU ITU
MENUNGGU SAMSUL, SITTY MENGAMBIL BEBERAPA BUAH ONDE-ONDE DARI GEROBAKNYA.
SITTY :
Pak, Saya beli onde-ondenya.
Ini uangnya.
PEDAGANG PALSU :
Ha! Onde-onde ? Nona Sitty
membeli onde-onde ini untuk siapa ?
SITTY
:
Ya buat saya.
Ya buat saya.
PEDAGANG PALSU :
Tapi ini tidak untuk........
SITTY :
O, tidak untuk dijual,
begitu ? Apa bapak tidak mau uang ?
PEDAGANG PALSU :
Uang ! Mau saya. Ini saya
lakukan karena uang.
SITTY
:
Nah, ini uangnya.
Nah, ini uangnya.
SITTY DUDUK MELEPAS LELAH .
KEMUDIAN IA MEMAKAN SATU BUAH ONDE-ONDE.
PEDAGANG PALSU :
( KESAMPING
) Aduh ! Celaka saya. Seharusnya Samsul, seperti yang disuruhkan pada saya.
Nona memakannya ? ( PADA SITTY )
SITTY :
Iya, kenapa ?
PEDAGANG
PALSU :
Ditelan ?
Ditelan ?
SITTY
:
( MENGANGGUK )
( MENGANGGUK )
PEDAGANG PALSU :
Enak ?
SITTY
:
Mmm, enak. Tapi gulanya terlalu manis dari yang biasa.
Mmm, enak. Tapi gulanya terlalu manis dari yang biasa.
( MEMAKAN SEBUAH LAGI )
PEDAGANG PALSU :
Yang itu ?
SITTY
:
Sama saja. Bapak ini kenapa ? Kalau bapak mau silahkan coba saja. ( MENYODORKAN ONDE-ONDE )
Sama saja. Bapak ini kenapa ? Kalau bapak mau silahkan coba saja. ( MENYODORKAN ONDE-ONDE )
PEDAGANG PALSU :
O. Tidak, tidak ! Saya tidak
suka onde-onde. Onde-onde itu manis. Saya tidak boleh makan yang manis-manis.
Kalau saya makan, saya akan batuk-batuk. Saya akan jadi pusing. ( SITTY
MEMEGANG KEPALANYA SEPERTI KESAKITAN ) Nah, anak saya akan marah. Ia akan
tambah pusing melihat saya. Ia akan kasak-kusuk mencarikan saya obat. Pernah
saya pusing sekali gara-gara makan dodol yang juga sama manisnya dengan
onde-onde. Saya jadi terbatuk-batuk, nafas saya sesak sekali ( SITTY MEMEGANG DADANYA KARENA SESAK NAFAS
) Hampir-hampir saya tidak kuat lagi. Untung anak saya segera membawa saya ke
Puskesmas. Kata anak saya, puskesmas itu kependekan dari; pusing, kepala sakit
dan masuk angin. Susternya menyuntik saya disini ( MENUNJUK BAGIAN PAHANYA )
Sakit. Tapi, setelah itu saya bisa sembuh. Kalau tidak, saya bisa mati.( SITTY
SUDAH TERDIAM BEGITU SAJA.TERKAPAR ) Saya ini belum ingin mati. Saya ingin
hidup seribu tahun lagi. Nona takut mati ? ( MENOLEH KEPADA SITTY ) Nona ? Nona
! Bangun nona. Nona, bangun. Wah, celaka. Aduh, seharusnya Samsul. Kalau tidak,
saya tak dapat uang. Aduh, nona ini ( MENDEKATKAN TANGAN PADA HIDUNG SITTY )
Haa ! Tidak ada anginnya. Puskesmas, puskesmas ! Tolong ! Tolong ! Ah, kalau
orang-orang datang hancur saya. Aduh, bagaimana ini !?.
SAMSUL, BAKHTIAR DAN ARIFIN
MASUK
SAMSUL :
Sitty !?
BAKHTIAR
:
Sitty kenapa !?
Sitty kenapa !?
ARIFIN
:
Ada apa dengan Sitty !?
Ada apa dengan Sitty !?
SAMSUL :
Hah ! Tidak usah bertanya
lagi. Cepat angkat. Bawa ke rumah sakit.
MEREKA KELUAR MEMBOPONG
TUBUH SITTY. DARI ARAH LAIN DATUK MARINGGIH DAN PENDEKAR LIMA MASUK.
DATUK :
Bagaimana ?
PEDAGANG
PALSU :
Wah. Aduh, celaka ! Sitty !
Wah. Aduh, celaka ! Sitty !
DATUK :
Kenapa Sitty ?
PEDAGANG PALSU :
Onde-onde, maksud saya Sitty
makan onde-ondenya. Sudah saya larang, tapi ia terus saja. Mau apa lagi. Kalau
saya katakan ada racunnya tidak mungkin. Sekarang Sitty diangkut ke...
PENDEKAR LIMA :
Diangkut ke rumah sakit ?
Cepat bapak lihat kondisinya ! Segera balik, kami tunggu di sini !
DATUK
:
Haahhh ! Kenapa bisa jadi seperti ini ? Kacau ! Yang saya perintahkan bunuh Samsul Bahri. Kalau Sitty mati, percuma semuanya !
Haahhh ! Kenapa bisa jadi seperti ini ? Kacau ! Yang saya perintahkan bunuh Samsul Bahri. Kalau Sitty mati, percuma semuanya !
PENDEKAR LIMA :
Ini kesalahan teknis, Datuk.
DATUK
:
Ini kesalahan kamu ! Menyuruh orang yang tidak bisa diandalkan ! Apa tidak ada yang lebih punya akal !
Ini kesalahan kamu ! Menyuruh orang yang tidak bisa diandalkan ! Apa tidak ada yang lebih punya akal !
PENDEKAR LIMA :
Kalau orang berakal mungkin
tidak mau melakukannya, Datuk.
DATUK :
Sudah! Jangan mencari alasan
lagi. Apa yang harus kita lakukan ? Kita dalam keadaan bahaya. Sebaiknya kita
pergi dari sini.
PENDEKAR LIMA :
Kita tunggu laporan dari
orang tadi dulu Datuk.
DATUK :
Untuk apa lagi ?
PENDEKAR
LIMA :
Mengetahui keadaan Sitty, ia mati atau tidak.
Mengetahui keadaan Sitty, ia mati atau tidak.
DATUK :
Mati atau tidak, tidak perlu
lagi saat ini. Kasus ini pasti diusut. Sekaranglah waktu yang tepat untuk
menghindar. Ayo !
LANGKAH DATUK TERHENTI
KARENA SAMSUL DATANG.
SAMSUL
:
O. Ternyata langkah saya tak kurang dan tak jua lebih. Hendak ke mana tuan-tuan ? Tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, ya ! Begitu ? Sitty sekarang dalam keadan koma, Dokter telah mengetahui penyebabnya. Tidak ada alasan untuk tidak menuduh Datuk sebagai dalangnya.
O. Ternyata langkah saya tak kurang dan tak jua lebih. Hendak ke mana tuan-tuan ? Tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya, ya ! Begitu ? Sitty sekarang dalam keadan koma, Dokter telah mengetahui penyebabnya. Tidak ada alasan untuk tidak menuduh Datuk sebagai dalangnya.
DATUK :
Jangan asal tuduh ! Kamu
ingin mencemarkan nama baik saya, ya !?
PENDEKAR LIMA :
Oi, anak muda. Apakah kau
punya bukti otentik kalau bicara !?
SAMSUL
:
Bukti ? ( MENGODE DENGAN TEPUKAN TANGAN )
Bukti ? ( MENGODE DENGAN TEPUKAN TANGAN )
BAKHTIAR MASUK MEMBAWA
PEDAGANG PALSU
SAMSUL :
Siapa yang menyuruh bapak
untuk meracuni Sitty ? ( KEPADA PEDAGANG
PALSU )
PEDAGANG
PALSU :
Itu, Situ. Maksud saya orang itu ( MENUNJUK PENDEKAR LIMA )
Itu, Situ. Maksud saya orang itu ( MENUNJUK PENDEKAR LIMA )
SAMSUL :
Berapa bapak dibayarnya ?
PEDAGANG PALSU :
Tadi saya dikasihnya uang
segini ( HENDAK MENGELUARKAN SELURUH ISI SAKUNYA ). Janjinya saya akan dikasih
uang banyak, satu juta katanya. Jadi saya mau. Perintah cuma menyerahkan
onde-onde itu pada Samsul Bahri. Samsul Bahrinya tidak ada. Tapi Nona Sitty
membeli onde-onde itu dan mengasih saya uang.
SAMSUL
:
Maksud bapak ?
Maksud bapak ?
PEDAGANG PALSU :
Aduh, ini sudah tiga kali saya
jelaskan pada kalian !
BAKHTIAR
:
Jadi tidak usah berkelit lagi dari kami, Datuk !
Jadi tidak usah berkelit lagi dari kami, Datuk !
SAMSUL
:
Datuk hendak meracuni saya agar Sitty bisa jatuh ke tangan Datuk ? Terlalu sempit jalan pikiran datuk. Tidak semua orang bisa Datuk bodoh-bodohi. Zaman sudah bertukar, Datuk ! Nah, sekarang kau harus me......
Datuk hendak meracuni saya agar Sitty bisa jatuh ke tangan Datuk ? Terlalu sempit jalan pikiran datuk. Tidak semua orang bisa Datuk bodoh-bodohi. Zaman sudah bertukar, Datuk ! Nah, sekarang kau harus me......
ARIFIN MASUK DENGAN RAUT
MUKA TEGANG BERCAMPUR TANGIS.
ARIFIN
:
Sitty sudah mendahului kita.
Sitty sudah mendahului kita.
SEMUA
:
Sitty !?
Sitty !?
SAMSUL :
Gaek keparat ! ( HENDAK
MENYERANG DATUK )
DATUK
:
Lari !
Lari !
PENDEKAR
LIMA :
Kita hadapi saja, saatnya perhitungan terakhir, Datuk !
Kita hadapi saja, saatnya perhitungan terakhir, Datuk !
BAKHTIAR :
Oooooooiii ! Babi hutan
masuk ke ladang !
BEBERAPA ORANG SISWA MASUK
MEMBAWA BENDA-BEDA KERAS DI TANGAN. MEREKA LANGSUNG MENYERANG SEHINGGA TERJADI
TAWURAN.
“Bagi
saya.”
“Ini. Hajar !”
“Kubunuh kau, anak ingusan !”
“Ayo, pak tua !”
“Beraninya keroyokan !”
“Sudah biasa, Datuk !”
“Ekstrakurikuler !”
DALAM PERISTIWA TAWURAN ITU
SAMSUL BAHRI TEWAS TERTUSUK BELATI OLEH DATUK, SEDANGKAN DATUK MARINGGIH TEWAS
DIKEROYOK SISWA DENGAN BATU.
“Samsul !?”
KAWAN SAMSUL MENGANGKAT
TUBUH SAMSUL KELUAR. PENDEKAR LIMA DAN PEDAGANG PALSU MELARIKAN DIRI.
* *
*
V.
DI SUDUT JALAN BEBERAPA HARI
KEMUDIAN, SEORANG LAKI-LAKI BERPAKAIAN LUSUH DUDUK DI HALTE. IA TENGAH
BERBICARA SEORANG DIRI.
AYAH :
Sitty...kembalilah
Sitty...dst.
SUARA-SUARA :
Sitty di sini Ayah. Menjelma
gunung. Orang-orang mendaki, seperti mendaki mimpi. Sitty melihat mimpi itu,
Ayah. Bintang jatuh ke samudera jiwa, jiwa lepas dari tubuh....
AYAH :
Kemarilah, sayang. Maafkan
Ayah, kemarilah...peluk Ayah....dst.
SUARA-SUARA :
Sitty di sini Ayah. Serupa
jembatan, antara masa lalu, masa kini, dan masa datang. Jembatan waktu yang
melingkar, metamorfosis. Orang-orang melintas, datang, singgah, pergi, dan
menghilang.
AYAH :
Jangan cengeng, Sitty ! Ayo,
berdiri. Ayo! Bangun, nak. Lepaskan kemanjaan...dst.
SUARA-SUARA :
Sitty jadi muara, Ayah.
Tempat segalanya berakhir. Akhir dari kepedihan, akhir dari segala dendam.
Akhir dari mimpi-mimpi yang dihanyutkan orang dari hulu, dari masa lalu. Telah
jadi kisah, Ayah. Yang melahirkan seribu tafsir.... Meski kita tidak pernah
tahu kapan episode ini berakhir....
LAMPU PERLAHAN MENYURUT.
PADAM.
SELESAI
Bukandiya april-mei 2004
BIODATA PENULIS
Nama : Ilham Yusardi
TTL : Padang, 28 April 1982
Alamat : Jl. DR. M. Hatta RT 05
/ RW 01 No. 29-30 Anduring Padang 25151
Alamat Surat : Himpunan Mahasiswa Jurusan Sastra Indonesia Fak. Sastra
Univ. Andalas Padang PO. BOX 235.
Status : Mahasiswa Sastra Indonesia FSUA angkatan 2001
Aktivitas : Menulis puisi, cerpen, esai. Aktif
di Teater LANGKAH FSUA, HMJ SASINDO, Teater GARAK. Pernah ikut berbagai
pementasan teater. Diantaranya; “Suara-suara
Patung” karya Mila K. Sari, “Primordial
II” karya S. Metron M. Di beberapa kota di Sumatera Barat.
No. Rekening : 107.750093953.901 Atas nama HARIYANTO.
Kantor BNI Capem. Andalas Limau Manih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar